PEMBAHASAN
TAFSIR SAHABAT
A.Pengertian Sahabat
Sebagai Mufassir
Tafsir
Al-Qur’an telah tumbuh dimasa Nabi Saw. dan beliaulah penafsir awal (al-mufassir
al-awwal) terhadap kitab Allah. Beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang
diturunkan kepadanya. Sahabat-sahabat Rasul yang mulia tidak ada yang berani
menafsirkan Al-Qur’an ketika beliau masih hidup. Rasulullah sendirilah yang
memikul tugas menafsirkan Al-Qur’an.
Sesudah
Rasulullah Saw. wafat barulah para sahabat yang alim yang mengetahui
rahasia-rahasia Al-Qur’an dan yang mendapat petunjuk langsung dari Nabi, merasa perlu untuk
menerangkan apa yang mereka ketahui dan
menjelaskann apa yang mereka pahami tentang maksud-maksud Al-Qur’an.[1] Sahabat
adalah orang yang bertemu (sezaman) dengan Nabi Saw. Menurut
jumhuru’l-Muhadditsin, sahabat ialah orang yang bertemu dengan Rasulullah saw.
dengan pertemuan yang wajar, sewaktu Rasulullah saw. masih hidup, dalam keadaan
islam lagi iman[2].
Sahabat langsung berguru kepada Nabi saw. perihal al-Qurán. Kita dapat meyakini
bahwa orang yang paling tahu tentang seluk beluk al-Qurán ialah para sahabat.
Lebih dari itu Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani mengatakan bahwa setelah
wafatnya Nabi saw. sahabat yang telah menghafal al-Qurán secara lengkap ada
ribuan jumlahnya. Diantara ribuan itu terdapat tujuh orang yang terkenal
mengajarkan al-Qurán yaitu, Utsman, Ali, Ubay, Abu ad-Darda’, Zaid ibn Tsabit,
Abdullah ibn Mas’ud, dan Abu Musa al-Asy’ariy.[3]
Mereka telah menghafal al-Qurán dan telah mengajarkannya kepada generasi
setelahnya atau disebut tabi’in.
Tafsir sahabat
adalah penafsiran ayat Al-Quran yang dilakukan oleh para sahabat nabi Muhammad
Saw., dengan dasar keterangan atau nukilan dari nabi. Penafsiran ini dilakukan
sesudah Nabi saw. wafat, dan sesungguhnya telah datang penafsiran dari sahabat,
disebut dengan tafsir Bi al-Ma’tsur.[4]
Apa itu tafsir bi Al-Ma’tsur? tafsir bi al-ma’tsur ialah penafsiran yang
bersumber kepada ayat-ayat al-Qurán dan riwayat-riwayat yang disandarkan kepada
Nabi saw., pendapat para sahabat, dan para tabi’in.[5]
Para sahabat sangat hati-hati sekali dalam mengambil sikap, yang apabila suatu
perkara tersebut tidak dicontohkan oleh Nabi, kecuali adanya keharusan untuk
melakukannya. Termasuk dalam masalah menafsirkan al-Qurán, sehingga mereka
sangat berpegang kepada al-Qurán dan al-Hadits, jika tidak ada pada keduanya
atau memerlukan sumber lainnya, maka mereka akan beristinbath atas pemahaman
mereka.
B. Berbagai Sarana yang Membantu Sahabat dalam Menafsirkan dan Contoh-Contohnya
Sumber
penafsiran al-Qur’an oleh para sahabat menurut Syaikh Manna al-Qaththan ada
tiga, yakni al-Qur’an al-Karim, Nabi saw., dan Ijtihad atas pemahaman.[6] Namun yang lebih lengkap menurut Adz-Dzahabi,
bahwa para sahabat ketika menafsirkan al-Qurán mereka merujuk kepada empat
sumber penafsiran. Pertama, al-Qurán al-Karim, kedua Ijtihad dan istinbath,
ketiga Hadist Nabi saw., dan keempat Ahlu al-Kitab dari Yahudi dan Nasrani.[7] Penjelasan
dari keempat sumber penafsiran sahabat itu ialah:
a. Al-Qur’an
Tidaklah sesuatu
disebutkan secara global disuatu tempat melainkan disebut secara rinci ditempat
lain di dalam Al-Qur’an. Misalkan ada suatu
ayat yang turun secara mutlak atau umum, lalu ada ayat lain yang turun
untuk membatasi kemutlakan ayat tersebut atau mengkhususkan keumummannya.
Inilah yang disebut tafsirul qur’an bil qur’an. Seperti apa yang
diungkapkan oleh Al-Thabari bahwa ayat al-Qurán dapat menafsirkan ayat al-Qurán
yang lain,[8]
dan sahabat menggunakan metode ini.
Kisah-kisah
Al-Qur’an misalnya, disebutkan disuatu tempat secara ringkas, tapi di beberapa
tempat lain disebutkan secara panjang lebar. FirmanNya :
أُحِلّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الاَنْعَامِ اِلَّا مَا يُتْلَى
عَلَيْكُمْ ...........
“dihalalkan
bagi kalian binatang ternak, kecuali yang akan disebutkan kepadamu…” (Al-Maidah : 1)
Dijelaskan oleh
ayat lain :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ المَيْتَةُ وَ الدَّمُ وَ لَحْمُ الحِنْزِيْرِ
وَ مَا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِه وَالمُنْخَنِقَةُ والمَوْقُوْذَةُ
وَالمُتَرَدِّيَةُ وَانَّطِيْحَةُ وَ مَا آكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ..........
“diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (dagimg) hewan yang
disembelih bukan atas nama Alla, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih.” (Al-Maidah : 3)
b. Nabi
Muhammad Saw.
Rasulullah Saw.
adalah penjelas Al-Qur’an. para sahabat merujuk
kepada beliau manakala mereka kesulitan dalam memahami suatu ayat. Selain
itu kedudukan al-Qur’an sebagai sumber
utama dan hadist sebagai sumber kedua
sekaligus bayani (penjelas) terhadap al-Qurán. Terdapat beberapa fungsi
hadis terhadap al-Qurán diantaranya ialah bayan tafsir.[9]
Bayan tafsir mengandung arti bahwa hadis berfungsi sebagai penjelas apa yang
ada dalam al-Qurán. Hadis memberi penjelasan secara terperinci pada
ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat global. Sebagian ulama menyebutnya bayan tafshil atau
bayan tafsir . Misalnya perintah shalat pada beberapa ayat dalam Al-qur’an
hanya diterangkan secara global, yaitu dirikanlah shalat, tanpa disertai
petunjuk bagaimana pelaksanaannya; berapa kali sehari semalam, berapa rakaat,
kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya. Perincian itu terdapat
pada hadis Nabi.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a, ia berkata,
“ketika turun ayat ini :
الذِّيْنَ آمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسوْا إيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ.....
“orang-orang
yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman
(syirik)..” (Al-An’am : 82)
Para sahabat
merasa berat terhadap kandungan ayat tersebut, lalu mereka berkata, “ Wahai
Rasulullah! Siapa diantara kami yang tidak menzalimi dirinya sendiri?” beliau
berkata, “Maksud ayat ini tidak seperti yang kalian maksudkan. Apa kalian tidak
mendengar apa yang dikatakan si hamba saleh-Luqman :
إنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٍ.......
“sesungguhnya,
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar” (Luqman : 13).[10]
Kitab-kitab
hadis secara khusus menyebutkan satu bab
untuk tafsir yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw. Allah Swt.
berfirman, “dan Kami tidak menurunkan kitab (Al-Qur’an) ini kepadamu
(Muhammad), melainkan agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang
mereka perselisihkan, serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman “ (An-Nahl: 64)
c. Pemahaman
dan Ijtihad
Manakala para
sahabat tidak menemukan penafsiran didalam kitab Allah ataupun penjelasan dari
Rasulullah Saw., mereka berijtihad untuk memahaminya, karena mereka adalah
orang-orang arab asli, bisa bahasa arab, bisa memahaminya dengan baik, dan
mengetahui sisi-sisi balaghah didalamnya.[11]
Al-Hafizh Ibnu
Katsir berkata dibagian mukadimah tafsirnya, “ketika kami tidak menemukan
penjelasan didalam Al-Qur’an atapun As-sunnah, kami merujuk pada perkataan para
sahabat, karena mereka lebih tahu tentang hal itu, mengingat mereka menyaksikan
indikasi dan kondisi-kondisi yang hanya bisa disaksikan oleh mereka saja.
Disamping mereka memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal
saleh, khususnya ulama dan para pembesar dari kalangan mereka, seperti empat
imam sekaligus khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk, dan juga Abdullah bin
Mas’ud, semoga Allah meridhai mereka semua”[12]
Salah satu
contohnya Abu Ubaidah meriwayatkan dari jalur Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia
berkata , “sebelumnya aku tidak tahu apa makna : fathiris samawati wal ardh,
sampai akhirnya ada dua orang badui datang kepadaku. Keduanya bersengketa
terkait sebuah sumur, lalu salah satu diantara keduanya berkata, Ana
Fathartuha.Maksudnya ‘aku yang membuatnya’.[13]
Karena itulah
Ibnu Qutaibah berkata , “pengetahuan bangsa Arab tidak sama terkait seluruh isi
Al-Qur’an, seperti kata asing an mutasyabih yang ada didalamnya. Tetapi,
sebagian diantara mereka lebih tahu terkait hal itu daripada sebagian yang
lain”.[14]
d.
Ahlu Al-Kitab dari Yahudi dan
Nasrani
Al-Qurán
memiliki persamaan kandungan dengan kitab samawi lainnya seperti Taurat dan
Injil. Dan lebih khusus terhadap kisah para Nabi (Qashash al-anbiya’).[15]
Para sahabat bersumber pada ahlu al-kitab bukan tanpa alasan, hal itu
dikarenakan al-Qurán hanya memaparkan sejarah para nabi-nabi secara global
(Ijtimali) dan masih memerlukan penjelasan. Nah melalui ahlu al-kitab ini dapat
diketahui sejarah para nabi yang lebih mendetail guna memberikan penafsiran
terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah nabi-nabi ini. Para sahabat yang
masuk Islam dari kalangan ahlu kitab ini adalah ‘Abdullah bin Salam dan Ka’ab
al-Ahbar al-Yahudi serta Ibnu Juraij. Keislaman mereka diterima bahkan keilmuan
mereka dibidang tafsir juga diakui. Mereka mengambil syair sebagai rujukan
kebahasan bagi tafsir. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas , ia berkata: Jika suatu
kata dalam al-Qurán dirasa asing maka simaklah syair. Sebab syair adalah Arab.
Sehingga diriwayatkan bahwa ia banyak menafsirkan ayat-ayat al-Qurán dengan
kata-kata yang dikemukakan dalam syair Jahili.[16]
C. Perangkat/Sarana Penafsiran oleh Sahabat
Banyak mufassir
dari kalangan sahabat yang masyhur. As-Suyuthi menyebutkan dalam kitab al-itqan
fii ulumil qur’an jilid II halaman 187, diantaranya adalah Khulafaur
Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali), Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin
Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-‘Asyari,
dan Abdullah Bin Zubair. Para khalifah yang banyak diterima tafsirnya
dan disampaikan kepada masyarakat ialah Ali bin Abi Thalib. Sedangkan
periwayatan dari tiga khalifah lainnya jarang sekali, disebabkan mereka
meninggal lebih dahulu, sebagaimana terjadi pada Abu Bakar r.a[17]
sebab lain yakni kesibukan mereka mengurus kekhalifahan dan kebutuhan akan
tafsir masih sedikit.[18]
Mengenai Ali
bin Abi Thalib, beliau terkenal dengan keberaniannya, kepintarannya dalam
bidang ilmu dan kesucian jiwa. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, beliau
mengatakan : “tanyakanlah saya, tanyakanlah saya, dan tanyakanlah saya tentang
kitabullah !, Demi Allah tidak satu ayat pun dalam kitabullah, kecuali saya
mengetahui diturunkannya siang atau malam hari.”
Abdullah bin
Mas’ud, beliau termasuk orang-orang yang pertama kali masuk islam, turut serta
berhijrah pada dua hijrah dan peperangan badar serta peperangan lainnya. Beliau
sempat mempelajari dari Nabi Saw.lebih dari 70 surat dalam Al-Qur’an. Nabi Saw.
pernah mengatakan kepada Abdullah bin Mas’ud pada masa pertama keislamannya:”sesungguhnya
engkau adalah anak yang cerdik”. Beliau katakan lagi: “barang siapa yang
hendak membaca Al-Qur’an setepat diturunkan, hendaklah ia membacanya menurut
bacaan Ibnu Ummi Abd”. Dan sementara itu Ibnu Mas’ud r.a lebih banyak
diriwayatkan tafsirnya dari pada Ali r.a.[19]
Abdullah bin
Abbas, beliau merupakan anak paman Rasulullah Saw., dilahirkan tiga tahun
sebelum hijriyah. Beliau melajimkan pergaulan dengan Nabi Saw.karena
kedudukannya sebagai anak paman Nabi dan bibinya yang bernama Maimunah
merupakan istri Nabi Saw. berkat doa-doa nabi Saw. beliaumenjadi tinta umat dalam
penyebaran tafsir Al-Qur’an dan fiqih. Seperti disebutkan dalam kitab Shahih
dari Ibnu AAbbas bahwa Nabi Saw. mendekapnya dan berrdoa, “Ya Allah
ajarkanlah hikmah kepadanya.” Disebutkan dalam Mu’jam al-Baghawi dan
lainnya, diriwayatkan dari Umar bahwa ia mendekati Ibnu Abbas dan berkata, “Aku
pernah elihat Rasulullah Saw. memanggilmu, mengusap mengusap kepalamu, meludah
dimulutmu dan berdoa ‘Ya Allah! Berilah ia pemahaman mendalam didalam agama dan
ajarkan takwil padanya’”[20]
Sedangkan Zaid
bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, mereka meriwayatkan
tafsir lebih sedikit daripada keempat khulafaurrasyidin.[21]
Para mufasir di
kalangan sahabat yang terkenal adalah Khulafaur Rasyiddin, Ibnu Mas’ud,Ibnu
Abbas,Ubay bin Kaab,Zaid bin Tsabit,Abu Musa al-Asy’ari,Abdullah bin
Zubair,Anas bin Malik,Abu Hurairah,Jabir dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash.[22]Dari kalangan Khulafaur
Rasyiddin yang terkenal paling banyak meriwayatkan tafsir ialah Ali bin
Abi Thalib.
Corak
penafsiran pada masa ini adalah bil Ma’tsur. Jumhur ulama berpendapat
bahwa tafsir sahabat mempunyai hukum marfu’ (disandarkan kepada
Rasulullah).
D. Karakteristik Tafsir Sahabat
Ada beberapa ciri khusus tafsir pada masa sahabat, yakni:
1)
mereka tidak menafsirkan Al-Quran secara keseluruhan, karena mereka hanya
menafsirkan sebagaian ayat Al-Quran yang benar-benar mereka kuasai dan dalami.
2)
Pada periode sahabat, perbedaan penafsiran Al-Quran di kalangan mereka
relatif amat sedikit, karena selain secara politis para sahabat masih tetap
utuh dan padu, juga belum banyak permasalahan yang mereka hadapi. Secara umum,
para sahabat mampu menafsirkan al-Qur’an secara mandiri.
3)
Penafsiran yang dilakukan para sahabat pada umumnya lebih menekankan
pendekatan pada kosa kata secara global dan tidak melakukannya dengan cara
panjang lebar dan mendetail. Para sahabat menafsirkan al-Qur’an apabila
dibutuhkan, sekedar membantu untuk memahami makna asli dari ayat-ayat
al-Qur’an.[23]
4)
Membatasi diri pada penjelasan makna-makna lughowi (etimologis) dalam
ungkapan sederhana dan singkat, tanpa menggunakan metodologi penafsiran yang
rumit (Ta’wil) seperti yang berkembang kemudian. Misal ibnu Abbas pernah
mengatakan bahwa ia tidak mengetahui arti dari kata al-Fatir yaitu pada
firman Allah swt dalam surat Fatir/35 ayat 1.[24]
Sampai-sampai ia mengungkapkan hal itu kepada dua orang badui di suatu sumur.
Kemudian salah seorang dari keduanya berkata “Ana Fathortuha” artinya
aku memulainya, menciptakannya, dan membelahnya.
5)
Jarang mengistimbatkan hukum-hukum Fiqhiyyah dari ayat-ayat Al-Quran,
apalagi jika istinbath hukum itu sendiri lebih mengedepankan semangat pembelaan
kepada mazhab-mazhab fikih yang di zaman generasi sahabat yang memang belum
terjadi.
6)
Tafsir Al-Quran sama sekali belum dibukukan mengingat zaman pembukuan lahir
jauh setelah generasi tabi’in.
7)
Pada generasi sahabat penafsiran Al-Quran pada umumnya dilakukan dengan
menguraikan hadis, bahkan tafsir itu merupakan bagian dari hadis.
Pada masa sahabat ini pengaruh Islam semakin meluas
dengan ditaklukannya negeri-negeri di sekitar Jazirah Arab.Sehingga
dibutuhkanlah seorang Gubernur, Panglima, dan juga seorang sahabat yang
mengajarkan Al-Qur’an untuk di tempatkan dibeberapa wilayah. Pada masa sahabat
ini dikenallah madrasah tafsir. Madrasah tafsir tersebut ialah:
1.
Madrasah Tafsir Ubay bin Ka’ab di
Madinah
Ubay bin Kaab
adalah seorang Anshar dari bani Najjar, yang masuk Islam pada masa awal berkembangnya umat muslim
dan turut serta dalam beberapa pertempuran besar di masa Nabi. Ia merupakan
salah seorang yang mengkhususkan diri dalam mengumpulkan wahyu dan merupakan
salah satu di antara empat sahabat yang disarankan nabi agar umat Islam
mempelajari Al-Qur’an darinya. Ubay bin Kaab juga dikenal dengan sebutan Sayyid
al-Qurra’ (pemimpin para penghafal al-Qur’an)[25].
Di Madinah
sendiri banyak sahabat lain yang bermukim disana dan tidak pindah ke negeri
lain. Mereka bermajlis disana untuk mengajarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah.Maka
berdirilah madrasah tafsir disana yang banyak diikuti oleh para tabiin.
Madrasah tersebut di pimpin oleh Ubay bin Kaab dan diantara muridnya yang diketahui ialah Zaid bin
Aslam,Abu Al-‘Aliyah, dan Muhammad bin Kaab.
Karya Ubay bin Kaab
Karyanya yang diketahui ialah Mushaf Ubay bin Kaab.
Ahli tafsir di Madinah yang pada umumnya berguru pada Zaid bin Aslam
Al-Adwy Al-Madani (wafat tahun 135 H/752M) ialah: Abu Al-‘Aliyah al-Rafi’ bin
Mihran al-Royyah (wafat tahun 90 H/708M), Al-Dhahak bin Mazahib (wafat tahun
105 H/723 M), Athiyyah bin Sa’id al-‘Awfi ( wafat tahun 111H/729 M), Muhammad
bin Ka’ab al-Kurdzi (wafat tahun 117 H/735 M), Qatadah bin Daamah al-Dausi
(wafat tahun 117 H/735 M), Al-Hasan Al-Bashri (wafat tahun 121 H/738 M), Ismail
bin Abdurrahman al-Sya’di al-Kabir (wafat tahun 127 H/738 M), Al-Rabi’ bin Anas
(wafat tahun 139 H/756 M), dan putra Zaid bin Aslam yakni Abdurrahman bin Zaid
(wafat tahun 182 H/798 M).[26]
2.
Madrasah Tafsir Ibnu Abbas di Makkah
Dalam
perkembangan Tafsir, keponakan Rasulullah ini merupakan salah satu sahabat yang
tersohor. Ini terbukti dari figurnya sebagia tarjuman Al-Qur’an (penerjemah
Al-Qur’an terbaik),al-Bahr(lautan, maksudnya ilmunya sedalam laut), dan harb
al-ummah (intelektual umat).[27]Beliu
dilahirkan beberapa tahun sebelum Hijrah. Ia dikabarkan wafat di Thaíf pada 68
H. Beliau memimpin madrasah tafsir yang ada di Makkah dan diantara beberapa
muridnya ialah Mujahid bin Jabr,Sa’id
bin Jubair, Thowus bin Kisan, ‘Atho bin Abi Robah ,Ikrimah,dll.
Karya Ibnu Abbas
karya yang dihasilkan oleh Ibnu Abbas yang diketahui adalah Mushaf
Ibnu Abbas.
Ahli tafsir di Makkah yang pada umumnya berguru kepada Abdullah bin Abbas
yang diketahui: Sa’id bin Jabr (wafat tahun 94H/712M), Mujahid bin Jabr (wafat
tahun 103H/721 M), Ikrimah Maula Ibnu Abbas (wafat tahun 105 H/723 M), Taus bin
Kaysan Al-Yamani (wafat tahun 106 H/724M), Atho’ bin Abi Rabbah Al-Makki (wafat
tahun 124 H/732M), berkata Sufyan Al-Sauri silahkan kalian ambil dari 4 orang
yaknni Said bin Jabr, Mujahid, Ikrimah, dan Ak-Dhahak. Sedangkan Qatadah bahwa
ada 4 orang Tabi’in yang sangat ‘alim dalam bidangnya masing-masing yaitu Atho
bin Abi Rabbah (dalam bidang masanasik haji), Said bin Jabr (ahli dalam bidang
tafsir), Ikrimah (ahli bidang sejarah), dan al-Hasan al-Bashri (ahli dalam
bidang hukum).
3.
Madrasah Tafsir Ibnu Mas’ud
Abdullah bin
Mas’ud ialah sahabat yang mula-mula masuk Islam. Ia adalah pembantu Nabi.
ketika Hijrah ke Madinah ia tinggal di belakang masjid Nabawi serta beliau ikut
berpartisipasi dalam sejumlah peperangan, temasuk perang Badar dimana beliau
berhasil membunuh Abu Jahl. Pada masa pemerintahan Umar beliau dikirim ke
Kuffah sabagai qadli disana, serta di tugaskan untuk mengajarkan Al-Qur’an
kepada penduduk Kuffah .Banyak tabiin yang ada di Kuffah yang berguru kepada
Ibnu Mas’ud.Seperti yang telah diketahui bahwa penduduk Kuffah terkenal dengan
ahli ro’yi. Ada yang berpendapat bahwa Ibnu Mas’ud ialah orang yang pertama
mengambil ro’yi sebagai sebuah dalil.Sehingga para penduduk Kuffah mewarisi
beliau dalam hal ini. Dan akhirnya banyak tafsir yang dihasilkan dengan cara
ijtihad. Diantara murid-murid beliau ialah :Masruq bin Al-Ajda’, ‘Alqomah
bin Qois,Qatadah,Aswad bin Yazid,Murrah bin Hamdani,Aamir Syu’bi.[28]
Di penghujung hayatnya ia kembali ke Madinah dan meninggal pada tahun 32 H atau
33H.
Karya Ibnu Mas’ud
Semenjak
menjadi pembantu Rasulullah saw. Ibnu Mas’ud juga mengumpulkan wahyu-wahyu yang
turun. Lembaran-lembaran wahyu itu disusun menjadi sebuah mushaf yang di kenal
dengan nama Mushaf Ibnu Mas’ud.
Ahli tafsir di Kuffah yang berguru
kepada Ibnu Mas’ud tercatat nama-nama mereka ialah Al-Aswad bin Yazid (wafat
tahun 75 H/694 M), Ibrahim Al-Nakhoi (wafat tahun 95 H/713M), Al-Qomah bin Qois
(wafat tahun 102 H/720 M), dan Al-Sya’bi (wafat tahun 105 H/723 M).
[1]
Teungku Hasbi M. ash-Shiddieqy, ‘Ulum Al-Qur’an, (Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 2014), hlm.187
[2] Dalam sebuah hadist, “….iman ialah percaya
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari
akhir dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk…” (HR. Muslim).
lihat imam an-Nawawi, Terjemah Hadist Arbaín An-Nawawi, terj. Muhil
Dhohir,Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat,2001,h.8-9
[3] Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani,
Manahil Al-‘Urfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002,
cet.1, h.264
[4]
Manna Al-Qatthan, Mabahits Fii Ulumil Quran, (Jakarta: Ummul Qura,
2017), hlm. 515
[5] Faizah Ali Syibromalisasi, Jauhar Azizi, Membahas
Kitab Tafsir Klasik-Modern, Ciputat: LPP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2012, cet.2, h.5
[6] Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2016,
cet.14, h.422-424
[7] Muhammad
Husein adz-Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Kairo : Dar al-Hadits,
2005, hlm.37
[8]
Faizah Ali Syibbromalisi, Jauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
Ciputat: LPP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012, cet.2,h.7
[9] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta:
Amzah, 2013, cet.2, h.19-21
[10] HR.
Ahmad, Al-Bukhori, Muslim dan lainnya.
[11]
Manna Al-Qatthan, Mabahis Fii Ulumil Quran, (Jakarta: Ummul Qura, 2017),
hlm. 518, dikutip dari kitab Al-Itqan, Jilid kedua, hlm. 183
[12]Ibnu
katsir, jilid pertama, hlm.3
[13]As-Suyuthi,
Al-Itqan, jilid kedua, hlm.113
[14]
Muhammad Husain Ad-Dzahabi, At-Tafsir wal Mufassirin, jilid pertama, hlm. 36
[15]
Muhammad Husein Ad-Dzahabi,at-Tafsir wa Al-Mufassirin,hlm.56
[16] Al Mazahib Al Islamiyah Fi Tafsir Al Qurán,
h.68-69. dinukil oleh Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta:
Kalam Mulia, 2013, h. 389
[17]
H. Aunur Rafiq Al-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:
Pustaka Al Kautsar, 2004), hlm.200
[18]
H.S Agil Husain Al Munawar, Ushulun Fii Tafsir, (Semarang : Dina Utama,
1989), hlm.42
[19]
H. Aunur Rafiq Al-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:
Pustaka Al Kautsar, 2004), hlm.202
[20]
Syekh Manna bin Al-Qatthan, Dasar-dasar Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Ummul
Quro, 2017), hlm.569
[21]
Hasan Yunus, Dirasat wa Mabahis fii Tarikh at-Tafsir wa Manahij
al-Mufassirin, (Al-Qohiroh: Jamiah al-Azhar), hlm. 34
[22]
Manna al-Qattan,Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2014, cet.11, hlm.431
[23] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an,Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2013, cet.1, hlm.324
[24] ‘Ali Hasan al-‘aridi, Sejarah dan
Metodologi Tafsir, Jakarta: PT Rajagrafindo, 1994, hlm. 18
[25]Taufik
Adnan A.,Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an,Jakarta: Pustaka Alvabet,2005,hlm.186
[27]Taufik
Adnan A.,Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an,Jakarta: Pustaka Alvabet,2005,hlm.211