Minggu, 03 Februari 2019

Metode Tafsir : Tafsir Sahabat


PEMBAHASAN
TAFSIR SAHABAT

A.Pengertian Sahabat Sebagai Mufassir
Tafsir Al-Qur’an telah tumbuh dimasa Nabi Saw. dan beliaulah penafsir awal (al-mufassir al-awwal) terhadap kitab Allah. Beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan kepadanya. Sahabat-sahabat Rasul yang mulia tidak ada yang berani menafsirkan Al-Qur’an ketika beliau masih hidup. Rasulullah sendirilah yang memikul tugas menafsirkan Al-Qur’an.
Sesudah Rasulullah Saw. wafat barulah para sahabat yang alim yang mengetahui rahasia-rahasia Al-Qur’an dan yang mendapat petunjuk  langsung dari Nabi, merasa perlu untuk menerangkan apa yang  mereka ketahui dan menjelaskann apa yang mereka pahami tentang maksud-maksud Al-Qur’an.[1] Sahabat adalah orang yang bertemu (sezaman) dengan Nabi Saw. Menurut jumhuru’l-Muhadditsin, sahabat ialah orang yang bertemu dengan Rasulullah saw. dengan pertemuan yang wajar, sewaktu Rasulullah saw. masih hidup, dalam keadaan islam lagi iman[2]. Sahabat langsung berguru kepada Nabi saw. perihal al-Qurán. Kita dapat meyakini bahwa orang yang paling tahu tentang seluk beluk al-Qurán ialah para sahabat. Lebih dari itu Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani mengatakan bahwa setelah wafatnya Nabi saw. sahabat yang telah menghafal al-Qurán secara lengkap ada ribuan jumlahnya. Diantara ribuan itu terdapat tujuh orang yang terkenal mengajarkan al-Qurán yaitu, Utsman, Ali, Ubay, Abu ad-Darda’, Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Mas’ud, dan Abu Musa al-Asy’ariy.[3] Mereka telah menghafal al-Qurán dan telah mengajarkannya kepada generasi setelahnya atau disebut tabi’in.
Tafsir sahabat adalah penafsiran ayat Al-Quran yang dilakukan oleh para sahabat nabi Muhammad Saw., dengan dasar keterangan atau nukilan dari nabi. Penafsiran ini dilakukan sesudah Nabi saw. wafat, dan sesungguhnya telah datang penafsiran dari sahabat, disebut dengan tafsir Bi al-Ma’tsur.[4] Apa itu tafsir bi Al-Ma’tsur? tafsir bi al-ma’tsur ialah penafsiran yang bersumber kepada ayat-ayat al-Qurán dan riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Nabi saw., pendapat para sahabat, dan para tabi’in.[5] Para sahabat sangat hati-hati sekali dalam mengambil sikap, yang apabila suatu perkara tersebut tidak dicontohkan oleh Nabi, kecuali adanya keharusan untuk melakukannya. Termasuk dalam masalah menafsirkan al-Qurán, sehingga mereka sangat berpegang kepada al-Qurán dan al-Hadits, jika tidak ada pada keduanya atau memerlukan sumber lainnya, maka mereka akan beristinbath atas pemahaman mereka.

B. Berbagai Sarana yang Membantu Sahabat dalam Menafsirkan dan Contoh-Contohnya         
Sumber penafsiran al-Qur’an oleh para sahabat menurut Syaikh Manna al-Qaththan ada tiga, yakni al-Qur’an al-Karim, Nabi saw., dan Ijtihad atas  pemahaman.[6]  Namun yang lebih lengkap menurut Adz-Dzahabi, bahwa para sahabat ketika menafsirkan al-Qurán mereka merujuk kepada empat sumber penafsiran. Pertama, al-Qurán al-Karim, kedua Ijtihad dan istinbath, ketiga Hadist Nabi saw., dan keempat Ahlu al-Kitab dari Yahudi dan Nasrani.[7] Penjelasan dari keempat sumber penafsiran sahabat itu ialah:
a.  Al-Qur’an
Tidaklah sesuatu disebutkan secara global disuatu tempat melainkan disebut secara rinci ditempat lain di dalam Al-Qur’an. Misalkan ada suatu  ayat yang turun secara mutlak atau umum, lalu ada ayat lain yang turun untuk membatasi kemutlakan ayat tersebut atau mengkhususkan keumummannya. Inilah yang disebut tafsirul qur’an bil qur’an. Seperti apa yang diungkapkan oleh Al-Thabari bahwa ayat al-Qurán dapat menafsirkan ayat al-Qurán yang lain,[8] dan sahabat menggunakan metode ini.
Kisah-kisah Al-Qur’an misalnya, disebutkan disuatu tempat secara ringkas, tapi di beberapa tempat lain disebutkan secara panjang lebar. FirmanNya :
أُحِلّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الاَنْعَامِ اِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ ...........

“dihalalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali yang akan disebutkan kepadamu…” (Al-Maidah : 1)

Dijelaskan oleh ayat lain :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ المَيْتَةُ وَ الدَّمُ وَ لَحْمُ الحِنْزِيْرِ وَ مَا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِه وَالمُنْخَنِقَةُ والمَوْقُوْذَةُ وَالمُتَرَدِّيَةُ وَانَّطِيْحَةُ وَ مَا آكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ..........
“diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (dagimg) hewan yang disembelih bukan atas nama Alla, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih.” (Al-Maidah : 3)

b.  Nabi Muhammad Saw.
Rasulullah Saw. adalah penjelas Al-Qur’an.  para sahabat merujuk kepada beliau manakala mereka kesulitan dalam memahami suatu ayat. Selain itu  kedudukan al-Qur’an sebagai sumber utama  dan hadist sebagai sumber kedua sekaligus bayani (penjelas) terhadap al-Qurán. Terdapat beberapa fungsi hadis terhadap al-Qurán diantaranya ialah bayan tafsir.[9] Bayan tafsir mengandung arti bahwa hadis berfungsi sebagai penjelas apa yang ada dalam al-Qurán. Hadis memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat global. Sebagian ulama menyebutnya bayan tafshil  atau bayan tafsir . Misalnya perintah shalat pada beberapa ayat dalam Al-qur’an hanya diterangkan secara global, yaitu dirikanlah shalat, tanpa disertai petunjuk bagaimana  pelaksanaannya; berapa kali sehari semalam, berapa rakaat, kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya. Perincian itu terdapat pada hadis Nabi.
 Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a, ia berkata, “ketika turun ayat ini :

الذِّيْنَ آمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسوْا إيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ.....
“orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik)..” (Al-An’am : 82)
Para sahabat merasa berat terhadap kandungan ayat tersebut, lalu mereka berkata, “ Wahai Rasulullah! Siapa diantara kami yang tidak menzalimi dirinya sendiri?” beliau berkata, “Maksud ayat ini tidak seperti yang kalian maksudkan. Apa kalian tidak mendengar apa yang dikatakan si hamba saleh-Luqman :
إنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٍ.......
“sesungguhnya, mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar” (Luqman : 13).[10]
Kitab-kitab hadis secara khusus menyebutkan satu bab  untuk tafsir yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw. Allah Swt. berfirman, “dan Kami tidak menurunkan kitab (Al-Qur’an) ini kepadamu (Muhammad), melainkan agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan, serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman “ (An-Nahl: 64)

c.  Pemahaman dan Ijtihad
Manakala para sahabat tidak menemukan penafsiran didalam kitab Allah ataupun penjelasan dari Rasulullah Saw., mereka berijtihad untuk memahaminya, karena mereka adalah orang-orang arab asli, bisa bahasa arab, bisa memahaminya dengan baik, dan mengetahui sisi-sisi balaghah didalamnya.[11]
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dibagian mukadimah tafsirnya, “ketika kami tidak menemukan penjelasan didalam Al-Qur’an atapun As-sunnah, kami merujuk pada perkataan para sahabat, karena mereka lebih tahu tentang hal itu, mengingat mereka menyaksikan indikasi dan kondisi-kondisi yang hanya bisa disaksikan oleh mereka saja. Disamping mereka memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal saleh, khususnya ulama dan para pembesar dari kalangan mereka, seperti empat imam sekaligus khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk, dan juga Abdullah bin Mas’ud, semoga Allah meridhai mereka semua”[12]
Salah satu contohnya Abu Ubaidah meriwayatkan dari jalur Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia berkata , “sebelumnya aku tidak tahu apa makna : fathiris samawati wal ardh, sampai akhirnya ada dua orang badui datang kepadaku. Keduanya bersengketa terkait sebuah sumur, lalu salah satu diantara keduanya berkata, Ana Fathartuha.Maksudnya ‘aku yang membuatnya’.[13]
Karena itulah Ibnu Qutaibah berkata , “pengetahuan bangsa Arab tidak sama terkait seluruh isi Al-Qur’an, seperti kata asing an mutasyabih yang ada didalamnya. Tetapi, sebagian diantara mereka lebih tahu terkait hal itu daripada sebagian yang lain”.[14]
d.    Ahlu Al-Kitab dari Yahudi dan Nasrani
Al-Qurán memiliki persamaan kandungan dengan kitab samawi lainnya seperti Taurat dan Injil. Dan lebih khusus terhadap kisah para Nabi (Qashash al-anbiya’).[15] Para sahabat bersumber pada ahlu al-kitab bukan tanpa alasan, hal itu dikarenakan al-Qurán hanya memaparkan sejarah para nabi-nabi secara global (Ijtimali) dan masih memerlukan penjelasan. Nah melalui ahlu al-kitab ini dapat diketahui sejarah para nabi yang lebih mendetail guna memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah nabi-nabi ini. Para sahabat yang masuk Islam dari kalangan ahlu kitab ini adalah ‘Abdullah bin Salam dan Ka’ab al-Ahbar al-Yahudi serta Ibnu Juraij. Keislaman mereka diterima bahkan keilmuan mereka dibidang tafsir juga diakui. Mereka mengambil syair sebagai rujukan kebahasan bagi tafsir. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas , ia berkata: Jika suatu kata dalam al-Qurán dirasa asing maka simaklah syair. Sebab syair adalah Arab. Sehingga diriwayatkan bahwa ia banyak menafsirkan ayat-ayat al-Qurán dengan kata-kata yang dikemukakan dalam syair Jahili.[16]

C. Perangkat/Sarana Penafsiran oleh Sahabat
Banyak mufassir dari kalangan sahabat yang masyhur. As-Suyuthi menyebutkan dalam kitab al-itqan fii ulumil qur’an jilid II halaman 187, diantaranya adalah Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali), Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-‘Asyari,  dan Abdullah Bin Zubair. Para khalifah yang banyak diterima tafsirnya dan disampaikan kepada masyarakat ialah Ali bin Abi Thalib. Sedangkan periwayatan dari tiga khalifah lainnya jarang sekali, disebabkan mereka meninggal lebih dahulu, sebagaimana terjadi pada Abu Bakar r.a[17] sebab lain yakni kesibukan mereka mengurus kekhalifahan dan kebutuhan akan tafsir masih sedikit.[18]
Mengenai Ali bin Abi Thalib, beliau terkenal dengan keberaniannya, kepintarannya dalam bidang ilmu dan kesucian jiwa. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, beliau mengatakan : “tanyakanlah saya, tanyakanlah saya, dan tanyakanlah saya tentang kitabullah !, Demi Allah tidak satu ayat pun dalam kitabullah, kecuali saya mengetahui diturunkannya siang atau malam hari.”
Abdullah bin Mas’ud, beliau termasuk orang-orang yang pertama kali masuk islam, turut serta berhijrah pada dua hijrah dan peperangan badar serta peperangan lainnya. Beliau sempat mempelajari dari Nabi Saw.lebih dari 70 surat dalam Al-Qur’an. Nabi Saw. pernah mengatakan kepada Abdullah bin Mas’ud pada masa pertama keislamannya:”sesungguhnya engkau adalah anak yang cerdik”. Beliau katakan lagi: “barang siapa yang hendak membaca Al-Qur’an setepat diturunkan, hendaklah ia membacanya menurut bacaan Ibnu Ummi Abd”. Dan sementara itu Ibnu Mas’ud r.a lebih banyak diriwayatkan tafsirnya dari pada Ali r.a.[19]
Abdullah bin Abbas, beliau merupakan anak paman Rasulullah Saw., dilahirkan tiga tahun sebelum hijriyah. Beliau melajimkan pergaulan dengan Nabi Saw.karena kedudukannya sebagai anak paman Nabi dan bibinya yang bernama Maimunah merupakan istri Nabi Saw. berkat doa-doa nabi Saw. beliaumenjadi tinta umat dalam penyebaran tafsir Al-Qur’an dan fiqih. Seperti disebutkan dalam kitab Shahih dari Ibnu AAbbas bahwa Nabi Saw. mendekapnya dan berrdoa, “Ya Allah ajarkanlah hikmah kepadanya.” Disebutkan dalam Mu’jam al-Baghawi dan lainnya, diriwayatkan dari Umar bahwa ia mendekati Ibnu Abbas dan berkata, “Aku pernah elihat Rasulullah Saw. memanggilmu, mengusap mengusap kepalamu, meludah dimulutmu dan berdoa ‘Ya Allah! Berilah ia pemahaman mendalam didalam agama dan ajarkan takwil padanya’”[20]
Sedangkan Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, mereka meriwayatkan tafsir lebih sedikit daripada keempat khulafaurrasyidin.[21]
  Para mufasir di kalangan sahabat yang terkenal adalah Khulafaur Rasyiddin, Ibnu Mas’ud,Ibnu Abbas,Ubay bin Kaab,Zaid bin Tsabit,Abu Musa al-Asy’ari,Abdullah bin Zubair,Anas bin Malik,Abu Hurairah,Jabir dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash.[22]Dari kalangan Khulafaur Rasyiddin yang terkenal paling banyak meriwayatkan tafsir ialah Ali bin Abi Thalib.
Corak penafsiran pada masa ini adalah bil Ma’tsur. Jumhur ulama berpendapat bahwa tafsir sahabat mempunyai hukum marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah).

D. Karakteristik Tafsir Sahabat
Ada beberapa ciri khusus tafsir pada masa sahabat, yakni:
1)      mereka tidak menafsirkan Al-Quran secara keseluruhan, karena mereka hanya menafsirkan sebagaian ayat Al-Quran yang benar-benar mereka kuasai dan dalami.
2)      Pada periode sahabat, perbedaan penafsiran Al-Quran di kalangan mereka relatif amat sedikit, karena selain secara politis para sahabat masih tetap utuh dan padu, juga belum banyak permasalahan yang mereka hadapi. Secara umum, para sahabat mampu menafsirkan al-Qur’an secara mandiri.
3)      Penafsiran yang dilakukan para sahabat pada umumnya lebih menekankan pendekatan pada kosa kata secara global dan tidak melakukannya dengan cara panjang lebar dan mendetail. Para sahabat menafsirkan al-Qur’an apabila dibutuhkan, sekedar membantu untuk memahami makna asli dari ayat-ayat al-Qur’an.[23]
4)      Membatasi diri pada penjelasan makna-makna lughowi (etimologis) dalam ungkapan sederhana dan singkat, tanpa menggunakan metodologi penafsiran yang rumit (Ta’wil) seperti yang berkembang kemudian. Misal ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa ia tidak mengetahui arti dari kata al-Fatir yaitu pada firman Allah swt dalam surat Fatir/35 ayat 1.[24] Sampai-sampai ia mengungkapkan hal itu kepada dua orang badui di suatu sumur. Kemudian salah seorang dari keduanya berkata “Ana Fathortuha” artinya aku memulainya, menciptakannya, dan membelahnya.
5)      Jarang mengistimbatkan hukum-hukum Fiqhiyyah dari ayat-ayat Al-Quran, apalagi jika istinbath hukum itu sendiri lebih mengedepankan semangat pembelaan kepada mazhab-mazhab fikih yang di zaman generasi sahabat yang memang belum terjadi.
6)      Tafsir Al-Quran sama sekali belum dibukukan mengingat zaman pembukuan lahir jauh setelah generasi tabi’in.
7)      Pada generasi sahabat penafsiran Al-Quran pada umumnya dilakukan dengan menguraikan hadis, bahkan tafsir itu merupakan bagian dari hadis.
Pada masa sahabat ini pengaruh Islam semakin meluas dengan ditaklukannya negeri-negeri di sekitar Jazirah Arab.Sehingga dibutuhkanlah seorang Gubernur, Panglima, dan juga seorang sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an untuk di tempatkan dibeberapa wilayah. Pada masa sahabat ini dikenallah madrasah tafsir. Madrasah tafsir tersebut ialah:
1.      Madrasah Tafsir Ubay bin Ka’ab di Madinah
Ubay bin Kaab adalah seorang Anshar dari bani Najjar, yang masuk Islam pada masa awal berkembangnya umat muslim dan turut serta dalam beberapa pertempuran besar di masa Nabi. Ia merupakan salah seorang yang mengkhususkan diri dalam mengumpulkan wahyu dan merupakan salah satu di antara empat sahabat yang disarankan nabi agar umat Islam mempelajari Al-Qur’an darinya. Ubay bin Kaab juga dikenal dengan sebutan Sayyid al-Qurra’ (pemimpin para penghafal al-Qur’an)[25].
Di Madinah sendiri banyak sahabat lain yang bermukim disana dan tidak pindah ke negeri lain. Mereka bermajlis disana untuk mengajarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah.Maka berdirilah madrasah tafsir disana yang banyak diikuti oleh para tabiin. Madrasah tersebut di pimpin oleh Ubay bin Kaab dan diantara  muridnya yang diketahui ialah Zaid bin Aslam,Abu Al-‘Aliyah, dan Muhammad bin Kaab.
Karya Ubay bin Kaab
Karyanya yang diketahui ialah Mushaf Ubay bin Kaab.
Ahli tafsir di Madinah yang pada umumnya berguru pada Zaid bin Aslam Al-Adwy Al-Madani (wafat tahun 135 H/752M) ialah: Abu Al-‘Aliyah al-Rafi’ bin Mihran al-Royyah (wafat tahun 90 H/708M), Al-Dhahak bin Mazahib (wafat tahun 105 H/723 M), Athiyyah bin Sa’id al-‘Awfi ( wafat tahun 111H/729 M), Muhammad bin Ka’ab al-Kurdzi (wafat tahun 117 H/735 M), Qatadah bin Daamah al-Dausi (wafat tahun 117 H/735 M), Al-Hasan Al-Bashri (wafat tahun 121 H/738 M), Ismail bin Abdurrahman al-Sya’di al-Kabir (wafat tahun 127 H/738 M), Al-Rabi’ bin Anas (wafat tahun 139 H/756 M), dan putra Zaid bin Aslam yakni Abdurrahman bin Zaid (wafat tahun 182 H/798 M).[26]

2.      Madrasah Tafsir Ibnu Abbas di Makkah
Dalam perkembangan Tafsir, keponakan Rasulullah ini merupakan salah satu sahabat yang tersohor. Ini terbukti dari figurnya sebagia tarjuman Al-Qur’an (penerjemah Al-Qur’an terbaik),al-Bahr(lautan, maksudnya ilmunya sedalam laut), dan harb al-ummah (intelektual umat).[27]Beliu dilahirkan beberapa tahun sebelum Hijrah. Ia dikabarkan wafat di Thaíf pada 68 H. Beliau memimpin madrasah tafsir yang ada di Makkah dan diantara beberapa muridnya ialah  Mujahid bin Jabr,Sa’id bin Jubair, Thowus bin Kisan, ‘Atho bin Abi Robah ,Ikrimah,dll.
Karya Ibnu Abbas
karya yang dihasilkan oleh Ibnu Abbas yang diketahui adalah Mushaf Ibnu Abbas.
Ahli tafsir di Makkah yang pada umumnya berguru kepada Abdullah bin Abbas yang diketahui: Sa’id bin Jabr (wafat tahun 94H/712M), Mujahid bin Jabr (wafat tahun 103H/721 M), Ikrimah Maula Ibnu Abbas (wafat tahun 105 H/723 M), Taus bin Kaysan Al-Yamani (wafat tahun 106 H/724M), Atho’ bin Abi Rabbah Al-Makki (wafat tahun 124 H/732M), berkata Sufyan Al-Sauri silahkan kalian ambil dari 4 orang yaknni Said bin Jabr, Mujahid, Ikrimah, dan Ak-Dhahak. Sedangkan Qatadah bahwa ada 4 orang Tabi’in yang sangat ‘alim dalam bidangnya masing-masing yaitu Atho bin Abi Rabbah (dalam bidang masanasik haji), Said bin Jabr (ahli dalam bidang tafsir), Ikrimah (ahli bidang sejarah), dan al-Hasan al-Bashri (ahli dalam bidang hukum).

3.      Madrasah Tafsir Ibnu Mas’ud
Abdullah bin Mas’ud ialah sahabat yang mula-mula masuk Islam. Ia adalah pembantu Nabi. ketika Hijrah ke Madinah ia tinggal di belakang masjid Nabawi serta beliau ikut berpartisipasi dalam sejumlah peperangan, temasuk perang Badar dimana beliau berhasil membunuh Abu Jahl. Pada masa pemerintahan Umar beliau dikirim ke Kuffah sabagai qadli disana, serta di tugaskan untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk Kuffah .Banyak tabiin yang ada di Kuffah yang berguru kepada Ibnu Mas’ud.Seperti yang telah diketahui bahwa penduduk Kuffah terkenal dengan ahli ro’yi. Ada yang berpendapat bahwa Ibnu Mas’ud ialah orang yang pertama mengambil ro’yi sebagai sebuah dalil.Sehingga para penduduk Kuffah mewarisi beliau dalam hal ini. Dan akhirnya banyak tafsir yang dihasilkan dengan cara ijtihad. Diantara murid-murid beliau ialah :Masruq bin Al-Ajda’, ‘Alqomah bin Qois,Qatadah,Aswad bin Yazid,Murrah bin Hamdani,Aamir Syu’bi.[28] Di penghujung hayatnya ia kembali ke Madinah dan meninggal pada tahun 32 H atau 33H.
Karya Ibnu Mas’ud
Semenjak menjadi pembantu Rasulullah saw. Ibnu Mas’ud juga mengumpulkan wahyu-wahyu yang turun. Lembaran-lembaran wahyu itu disusun menjadi sebuah mushaf yang di kenal dengan nama Mushaf Ibnu Mas’ud.
    Ahli tafsir di Kuffah yang berguru kepada Ibnu Mas’ud tercatat nama-nama mereka ialah Al-Aswad bin Yazid (wafat tahun 75 H/694 M), Ibrahim Al-Nakhoi (wafat tahun 95 H/713M), Al-Qomah bin Qois (wafat tahun 102 H/720 M), dan Al-Sya’bi (wafat tahun 105 H/723 M).    
               







[1] Teungku Hasbi M. ash-Shiddieqy, ‘Ulum Al-Qur’an, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2014), hlm.187
[2]  Dalam sebuah hadist, “….iman ialah percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk…” (HR. Muslim). lihat imam an-Nawawi, Terjemah Hadist Arbaín An-Nawawi, terj. Muhil Dhohir,Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat,2001,h.8-9
[3]  Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil Al-‘Urfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, cet.1, h.264
[4] Manna Al-Qatthan, Mabahits Fii Ulumil Quran, (Jakarta: Ummul Qura, 2017), hlm. 515
[5]  Faizah Ali Syibromalisasi, Jauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, Ciputat: LPP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012, cet.2, h.5
[6]  Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2016, cet.14, h.422-424
[7] Muhammad Husein adz-Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Kairo : Dar al-Hadits, 2005, hlm.37
[8] Faizah Ali Syibbromalisi, Jauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, Ciputat: LPP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012, cet.2,h.7
[9]  Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2013, cet.2, h.19-21
[10] HR. Ahmad, Al-Bukhori, Muslim dan lainnya.
[11] Manna Al-Qatthan, Mabahis Fii Ulumil Quran, (Jakarta: Ummul Qura, 2017), hlm. 518, dikutip dari kitab Al-Itqan, Jilid kedua, hlm. 183
[12]Ibnu katsir, jilid pertama, hlm.3
[13]As-Suyuthi, Al-Itqan, jilid kedua, hlm.113
[14] Muhammad Husain Ad-Dzahabi, At-Tafsir wal Mufassirin, jilid pertama, hlm. 36
[15] Muhammad Husein Ad-Dzahabi,at-Tafsir wa Al-Mufassirin,hlm.56
[16]  Al Mazahib Al Islamiyah Fi Tafsir Al Qurán, h.68-69. dinukil oleh Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: Kalam Mulia, 2013, h. 389
[17] H. Aunur Rafiq Al-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2004), hlm.200
[18] H.S Agil Husain Al Munawar, Ushulun Fii Tafsir, (Semarang : Dina Utama, 1989), hlm.42
[19] H. Aunur Rafiq Al-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2004), hlm.202
[20] Syekh Manna bin Al-Qatthan, Dasar-dasar Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Ummul Quro, 2017), hlm.569
[21] Hasan Yunus, Dirasat wa Mabahis fii Tarikh at-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, (Al-Qohiroh: Jamiah al-Azhar), hlm. 34
[22] Manna al-Qattan,Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014, cet.11, hlm.431
[23] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an,Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013, cet.1, hlm.324
[24] ‘Ali Hasan al-‘aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT Rajagrafindo, 1994, hlm. 18
[25]Taufik Adnan A.,Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an,Jakarta: Pustaka Alvabet,2005,hlm.186
[26]Muhammad Amin Suma,  Ulumul Qur’an, Jakarta:  PT Rajagrafindo Persada, 2013, cet.1, hlm.325-326
[27]Taufik Adnan A.,Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an,Jakarta: Pustaka Alvabet,2005,hlm.211
[28]Kahar Masyur, Pokok-pokok Ulumul Qur’an, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992, hlm.169

Metode Tafsir : Tafsir Sahabat

PEMBAHASAN TAFSIR SAHABAT A. Pengertian Sahabat Sebagai Mufassir Tafsir Al-Qur’an telah tumbuh dimasa Nabi Saw. dan beliaulah pena...