Periwayatan Perawi Majhul,Mastur, Mubham, dan Rawi yang rusak Hapalannya
A.
Periwayatan Perawi Mubham ,Majhul ,dan Mastur
Dalam mengenal
istilah-istilah yang dijuluki terhadap perawi dalam sebuah periwayatannya maka
kita perlu mengenal definisi-definisi
hadis yang diriwayatkan oleh perawi tersebut.
Yang dimaksud
dengan hadits mubham ialah :
هو ما في مَتنِهَ
أو سَنَدِه راوٍ لَم يُسَمّ سَواءٌ كان رَجُلًا أو إمراةً
“hadits yang di dalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi
yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan”
Ke-ibhaman
rawi dalam hadits mubham tersebut, dapat terjadi karena tidak disebutkan
namanya atau disebutkan namanya, tetapi tidak dijelaskan siapa sebenarnya yang
dimaksud dengan nama tersebut, sebab tidak mustahil bahwa nama tersebut
dimiliki oleh beberapa orang. Atau dapat terjadi karena hanya disebutkan jenis keluarganya, seperti ibnun
(anak laki-laki), ummun (ibu), khallun (paman) dan lain
sebagainya yang sebutan-sebutan tersebut belum menunjukan nama pribadi
seseorang. Yang mana seseorang tersebut
tidak diketahui secara pasti oleh ahli sejarah.
Lebih jauh Ibnu
Shalah mengklasifikasikan nama-nama yang mubham ini menjadi empat.[1]
a.
Nama yang dilambangkan dengan kata rajul atau imra’ah.
Jenis ini adalah yang paling samar.
b.
Nama yang dilambangkan dengan ibnu fulan, ibnatu
fulan, atau ibnu al-fulany.
c.
Ammu fulan atau ‘Ammatu fulan.
d.
Zauju fulanah atau Zujatu fulan.
Terkadang-kadang
mubham itu terdapat dalam matan,[2]
seperti seorang sahabi berkata:
اِنّ
رجُلًا سأَل رسُولُ الله ص م
“bahwasanya
seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah.”
Terkadang juga
mubham terdapat dalam sanad, seperti seorang perawi berkata:
عن
رجُلٍ من َالصّحابةِ
“Dari seorang lelaki dari
sahabat.”
Jika yang
mubham itu seorang sahabat maka sebuah hadist dapat dipandang shahih, karena
jumhur ulama berpendapat bahwa semua sahabat adil. Namun apabila yang mubham
itu adalah seorang tabiin atau setelahnya, maka tidak boleh kita berdalil
dengan hadis tersebut sebelum nyata siapakah dia dan apakah dia tsiqah.
Diantara perawi yang di pandang mubham ialah: al-Hafidh Abdul Ghani al-Azdi, Abu Bakar al-Hathib,
Abdul Fadl-li ibn Thahir, ibn Basykual.
Kitab-kitab
yang ditulis mengenai perawi mubham ialah Al-Mustafad min Mubhamatil Matni
wal Isnad yang ditulis oleh al-‘Iraqi, dan juga terdapat di dalam Muqaddamah
Fath-hul Barie yang di tulis oleh al-Hafidh Ibnu Hajar.[3]
Ke-ibham-an
perawi yang terjadi pada suatu hadits ada yang terdapat pada matan, dan ada
yang terdapat pada sanad hadits. Contoh ke-ibham-an rawi yang terdapat pada
matan hadits, ialah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash r.a. yang mewartakan :
إنّ
رجُلاً سأَلَ النّبيّ صلّي اللهُ علَيهِ
وسلّمَ :أيّ الأسلام خَيراً ؟ قال:
رتُطْعِمُ الطّعامَ وتَقْرَأُ السّلامَ
عليَ مَن عَرَفْتَ ومَن لمْ تَعْرِف
“bahwa seorang laki-laki bertanya
kepada Rasulallah saw., katanya : ‘(perbuatan) Islam yang manakah yang paling
baik ? ‘ Jawab Nabi : ‘ialah kamu merangsum makanan dan memberi salam kepada
orang yang telah kamu kenal atau yang belum kamu kenal’ “ (H.R.
Bukhari-Muslim)
Menurut penyelidikan
As-Syuyuthy bahwa seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Saw. ialah
Abu Dzar r.a.
Contoh
ke-ibham-an rawi yang terdapat pada sanad hadits, seperti yang terdapat pada
hadits Abu Dawud yang diterimanya dari :[4]
حَجّاجٍ
عَن رَجُلٍ عن ابِي هرَيرَة رضِيَ الله
عنه عَنِ النّبِيَ صلّي اللهه علَيهِ وسلّمَ قال: المؤمِنُ غرٌّ كَرِيمٌ -اللحديث-
“ Hajjaj dari seorang laki-laki
dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Muhammad Saw. sabda Rasulullah saw. : ‘Orang
mukmin itu adalah orang yang mulia lagi dermawan’ .“
Dalam hadits
tersebut Hajjaj tidak menyebutkan dan menerangkan nama rawi yang memberikan
hadits kepadanya. Oleh karena itu sulit sekali untuk menyelidiki identitasnya.
Periwayatan Perawi Majhul
Turunnya
derajat suatu hadits menjadi berstatus Hadits Majhul ialah disebabkan oleh
periwayatan haditsnya dilakukan oleh perawi yang Majhul (tidak diketahui).
Ada beberapa istilah dalam pembahasan majhul ini, yakni majhulul ‘ain, majhulul
‘adalah dan majhulul hal. Apa itu majhulul ‘ain? Majhulul ‘ain
ialah:
كُلُّ
راوٍلَمْ يَرْوِعَنْهُ اِلّاوَاحِدٌ مِنَ الرُّوَاةِ و لَمْ يُجَرِّحْهُ اَحَدَ.
“Tiap-tiap perawi yang hanya
seorang saja yang meriwayatkan hadis darinya dan tidak di-jarhnya oleh
seseorang.”[5]
Maksud dari
majhulul ‘ain ialah salah seorang perawi disebutkan dengan jelas sekali, akan
tetapi ternyata ia bukan tergolong orang yang sudah dikenal keadilannya dan
tidak ada rawi tsiqah yang meriwayatkan hadits daripadanya selain seorang saja.
Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang majhulul ‘ain disebut dengan hadis
majhul.[6]
Ulama hadis menetapkan seseorang tidak akan dipandang majhul jika ada dua
orang yang meriwayatkan hadis darinya. Mengenai hal ini juga dipertegas oleh
al-Khatib al-Bagdadi dalam al-Kifayah sebagaimana yang dikutip oleh
Nashir al-Din al-Abani , bahwa majhul dari ahli hadis ialah orang yang tidak
populer proses perolehan ilmunya dan tidak dikenal oleh para ulama. Orang itu
hanya meriwayatkan hadis dari satu sumber . Ketidakterkenalannya akan terangkat
apabila ada paling sedikit dua orang atau lebih yang populer keilmuannya yang
meriwayatkan hadis darinya.[7] Apakah periwayatannya ditolak? Abul Hasan
Ibnul Qaththan dan Hafidh Ibnu Hajar menyatakan bahwa periwayatan rawi yang
majhul dapat diterima pabila orang tersebut diakui adil oleh seseorang imam
jarh dan ta’dil. Kemudian apa pula yang dimaksud dengan majhulul ‘adalah? Majhulul
‘adalah ialah:
مَنْ
كَانَ مَعْرُوفَ العَيْنِ بِرِوَايَتِهِ عَدْ لَيْنِ عَنْهُ و لَكِنَّهُ مَجْهُولُ
العَدَالَةِ
“Orang yang dikenal pribadinya
lantaran telah ada dua orang yang adil meriwayatkan hadis dari padanya, akan
tetapi orang itu majhulul ‘adalah (tidak diketahui apakah ia seorang yang adil
atau tidak).”
Jumhur ulama
menolak periwayatan dari orang ini, namun segolongan menerima dengan satu
syarat bahwa ia dikenal sebagai seseorang yang meriwayatkan hadis dari
orang-orang yang adil. Kalau tidak demikian maka tidak diterima.
Lalu apa
pengertian dari Majhulul hal? majhulul hal ialah perawi yang menurut lahirnya
adil, tetapi tidak diketahui hakikat
keadaannya dan kebatinannya. Dalam pengertian lain majhul hal merupakan seorang
rawi yang dikenal keadilannya dan kedhabitannya atas dasar periwayatan orang-orang yang
tsiqah , akan tetapi penilaian orang-orang tersebut belum mencapai kebulatan
suara. Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang majhulul hal ini dinamakan
dengan hadis Mastur. Sedikit lebih merinci Manna Khalil al-Qattan
menerangkan bahwa yang dimaksud majhul hal ialah seorang perawi yang ada dua
orang atau lebih meriwayatkan hadis darinya dan tidak ada ulama yang mengatakan
riwayat dari orang seperti ini dapat diterima[8]
Jadi yang
dimaksud dengan perawi yang mastur ialah jika sebuah hadis diriwayatkan
oleh seorang perawi dikenal keadilannya dan kedhabitannya atas dasar
periwayatan orang-orang yang tsiqah, akan tetapi penilaian orang-orang tersebut
belum mencapai kebulatan suara. Lalu apakah periwayatan hadis Mastur diterima?
Menurut al-Hafidh Ibnu Hajar dalam an-Nazhah, bahwa mastur itu (tidak diketahui
keadaannya), apakah alim atau tidak, belum bisa dipastikan tertolak riwayatnya
atau diterima riwayatnya, sehingga ditawaqqufkan (di diamkan dulu) sehingga
nyata keadaannya.[9]
Jika sudah diketahui bahwa ada dua orang yang meriwayatkan darinya maka dapat
diketahui keadilannya karena sudah diakui keadilannya oleh para imam tetapi
kita tidak tau namanya dan keturunnya. Maka bisa dilihat dari dua orang yang meriwayatkan
hadis darinya, kalo dua-duanya adil , maka diterima, namun jika Cuma satu yang
adil, maka tidak diterima.
B.
Periwayatan Rawi yang Taubat Setelah Fasiq
Salah satu
syarat diterimanya riwayat seorang rawi adalah rawi tersebut adalah ‘adil,yakni
muslim, baligh, berakal yang selamat dari sebab-sebab kefasikan dan merusak
muru’ah. Adapun yang dimaksud selamat dari sebab-sebab kefasikan adalah dikenal
sholeh, bertakwa, melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangan, tidak
melakukan salah satu dosa besar, tidak terus-menerus melakukan dosa kecil, dan
bukan seorang yang ahli bid’ah.
Pada masa
Rasulullah saw. ternyata dikalangan sahabat
ada beberapa orang yang pernah keluar dari agama Islam, seperti
‘Abdullah bin Jahsy dan ‘Abdullah bin Khathai. Hal ini tentu bertolak belakang
dengan pengertian sahabat[10]
itu sendiri. Namun apabila sahabat yang murtad itu kembali lagi beragama Islam,
baik kembalinya itu disaat Nabi saw. masih hidup maupun setelah wafat, masih
dapat dimasukan ke dalam golongan sahabat. Al-Hafidh Ibnu Hajar mengemukakkan
tentang kisah Al-Asy’as bin Qais yang pernah murtad. Dia menghadap Abu Bakar sewaktu menjadi
tawanan perang , kemudian menyatakan
kembali beragama Islam. Pernyataan itu diterima oleh Abu Bakar. Tidak
seorangpun di kalangan ahli hadis yang membantah kesahabatannya dan
pentakhrijan hadis-hadisnya yang termuat dalam musnad-musnadnya dan
lain-lainnya. Selain yang murtad terdapat pula orang yang fasik. Imam Abu
Hanifah dan sebahagian golongan salaf berpendapat bahwa orang fasiq tidak diterima riwayatnya
dan kesaksiannya, meskipun telah bertaubat. Sedangkan Imam Malik, Syafi’I,
Ahmad, dan sebagian besar salaf menyatakan orang yang bertaubat setelah fasiq,
kesaksiannya dan riwayatnya dapat diterima.[11]
C.
Para Rawi yang Mengalami Kekacauan pada Akhir Hayatnya
Yang
dimaksud dengan kekacauan ialah rusaknya akal dan tidak teraturnya ucapan dan
perbuatan. Kekacauan itu dapat terjadi karena berusia lanjut atau karena adanya
sebab-sebab yang lain. Rawi yang yang mengalami kekacauan ini hadistnya disebut dengan hadist mukhtalith.
Adapun pengertian hadist mukhtalith
ialah:
هوماطَرَأَعَلَي
الرَّوِي سُوْءُ الحِفْظِ لِكِبَرٍ
أوضَرٍّاو إحتِرَاقِ كُتُبِهِ أوعَدَمِها.
“Hadist yang rawinya buruk
hafalannya ,disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya,terbakar atau hilang
kitab-kitabnya”.[12]
Yang dimaksud
dengan su-u’l-khifdhi, ialah kalau salahnya lebih banyak daripada
betulnya, dan hafalannya tidak lebih banyak daripada lupanya. Hadist orang yang
dikategorikan su-u’l-khifdhi termasuk syadz[13].
Berdasarkan
sebab-sebab kekacauannya, mereka dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok:
1)
Para rawi yang mengalami kekacauan karena rusak
pikirannya di masa tua, kepikunan, sakit, atau karena tertimpa suatu musibah.[14]
Seperti Sa’id bin Abi ‘Arubah[15]
yang tsiqat dan hafiz. Ia mengalami kekacauan sejak umur 42 tahun atau pada
tahun 145 H dan berlanjut sampai ia wafat pada tahun 155 H. Para rawi
meriwayatkan hadist darinya sebelum ia mengalami kekacauan ini, seperti Yazid
bin Harun, Ibnu’l-Mubarak, dan Yahya Al-Qaththan.[16]
Rawi yang diketahui meriwayatkan hadist darinya setelah ia mengalami kekacauan
ialah Wakki’ bin al-Jarrah dan al-Mu’afi bin Imran al-Mursili.
2)
Para rawi yang mengalami kekacauan karena hilang
penglihatannya (buta), seperti Abdurrazzaq bin Hammam al-Shan’am, imam yang
menulis Mushannaf. Para rawi yang meriwayatkan hadis darinya sebelum ia
mengalami kebutaan (sebelum tahun 200 H)[17],
ialah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahaweh, Ali bin al-Madini, Waki’, dan Yahya
bin Main. Diantara rawi yang meriwayatkan darinya setelah ia mengalami
kekacauan adalah Ibrahim bin Manshur al-Ramadi dan Ishaq bin Ibrahim al-Dabari.
3)
Para rawi yang mengalami kakacauan karena kehilangan kitabnya ,
sehingga ia meriwayatkan hadis berdasarkan hafalannya dan karenanya hadisnya
menjadi kacau. Contoh dari rawi ini adalah Abdullah bin Luhai’ah al-Mishri al-Qadhi.
Kitab-kitabnya terbakar , lalu ia meriwayatkan hadis hanya berdasarkan
hafalannya, sehingga terjadi kekacauan dalam hadisnya .
4)
Rawi lainnya yang mengalami kekacauan di akhir
hidupnya ialah ‘Atha’ bin al-Sa’id[18].
Al-Khatib berkata:”Atha’ bin Sa’ib mengalami kekacauan pada akhir hayatnya.
Karenanya para ulama berhujah dengan hadis-hadis yang diriwayatkannya melalui para muridnya
yang senior , seperti Sufyan al-Tsauri dan Syu’bah.[19]
Mengingat penerimaan mereka pada saat itu adalah pada masa normalnya , dan para
ulama meninggalkan hadis-hadisnya yang diriwayatkan oleh para periwayat yang
kemudian”. Said bin Abu Said al-Miqbari,
ia mengalami kekacauan sebelum wafatnya. Al-Bukhari meriwayatkan hadisnya
melalui Malik ,Isma’il bin Abi Umayyah, Ubaidillah bin Umar al-Umari dan
lainnya. Rabi’ah Ar-Ra-iy bin Abi ‘Abdur Rahman, beliau merupakan salah seorang
guru Imam Malik. Ibnu’sh-Shalah berpendapat bahwa beliau mengalami kekacauan
pada akhir hidupnya, dan karenanya hendaklah ditinggalkan hadisnya untuk
berhujjah. Namun pendapat ash-Shalah ini dibantah oleh sebagian muhadditsin,
karena Imam Muslim meriwayatkan hadis-hadisnya dan kebanyakan para hafidh dan
imam-imam hadis menganggap dia sebagai rawi yang tsiqah.
Hukum Hadis Rawi Tsiqat yang
Mengalami Kekacauan
Hukum hadis
tsiqat yang tertuduh mengalami kekacauan telah ditetapkan oleh para muhaddisin
dengan dua cara. Pertama, hadis yang didengar dari mereka sebelum terjadinya
kekacauan. Hadis ini dapat diterima dan bisa dijadikan hujah. Kedua, hadis yang
didengar setelah mengalami kekacauan atau tidak dapat dipastikan sebelum atau
sesudah kekacauan. hadis ini ditolak dan tidak dapat dijadikan hujjah.Dalam
periwayatan rawi yang mengalami kekacauan pada akhir hayatnya dapat disimpulkan
bahwa hadis yang didapat sebelum terjadi kekacauan pada diri rawi , dapat
diterima (makbul), dan hadis yang didapat setelah terjadi kekacauan pada diri
rawi maka hadis itu ditolak. Al-‘Allamah al-Tahanawi berpendapat bahwa riwayat
murid senior dari rawi yang mengalami kekacauan dianggap shahih.
Kitab tentang
hal ini telah disusun oleh al-Imam al-Hafizh al-‘Ala’I Khalil bin Kikaldi
(w.762 H). Kemudian secara khusu disusun oleh al-Imam al-Hafizh Ibrahim bin
Muhammad cucu Ibnu al-‘Ajami al-Halabi (w.841 H) , kitabnya diberi judul al-Ightibath
bi Man Rumiya bi al-Ikhtilath.[20]
Adapun faedah
mengkaji para rawi yang mengalami kekacauan ini ialah dapat membedakan
hadis-hadis mereka antara yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Menurut
para ulama ilmu tentang ini penting dipelajari.
[1]Nuruddin ‘ltr,’Ulumul Hadis,alih bahasa oleh
Drs.Mujiyo,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,cet.3,2014),h.154
[2]Hasbi Ash-shidieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist (jilid 2),(Jakarta:Bulan
Bintang,1976),cet.4,h.189
[3]Hasbi Ash-shidieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist (jilid 2),h.189
[4]Fatchur Rahman,Ikhtisar Musthalahu’l Hadits,h.197
[5]Hasbi Ash-shidieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist (jilid 2),h.225
[6]Fatchur Rahman,Ikhtisar Musthalahu’l Hadits,h.198
[7]Muhammad al-Din al-Abani,Tamaamul Minnah,terj.Afifuddin Said,
(Tegal: Maktabah Salafy Press,2002),h.7
[8]Manna Khalil al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, terj.Mifdhol
Abdurrahman, (Jakarta:Pustaka Alkautsar,2016),
[9]Hasbi Ash-shidieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist (jilid 2),226-227
[10]Menurut Jumhuru’l-Muhadditsin, sahabat ialah ,“Orang yeng bertemu
rasulullah saw. dengan pertemuan yang
wajar sewaktu Rasulullah saw. masih hidup , dalam keadaan Islam lagi Iman.”
[11]Ahmad Umar Hasyim, Qawa’id Ushul al-Hadits, (T.K: Dar
al-Fikr,T.T),h.187
[12]Fatchur Rahman,Ikhtisar Musthalahu’l Hadits,(Bandung: PT
Alma’arif,1974),h.203
[13]syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat secara
tersendiri, jika periwayat itu tsiqah maka hadis yang diriwayatkannya itu
diterima,namun jika tidak tsiqah maka hadis yang ia riwayatkantidak dapat
diterima. lihat Ibnu Nasruddin a-Dimasyqi,Mutiara Ilmu Atsar, tahqiq:
Dhiya Muhammad Jasim Ad-Dimasyqi,terj.Faisal Shaleh,Khorul Amru
Harahap,(Jakarta Timur:AKBAR,2008),H.214
[14]Nuruddin ‘ltr,’Ulumul Hadis,alih bahasa oleh
Drs.Mujiyo,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,cet.3,2014),h.129
[15]Nama lengkapnya adalah Sa’id bin ‘Abi ‘Arubah abu al-Nadr. Abi ‘Arubah
bernama Mahran. ‘Abd al-Samad berkata:”Ia meninggal pada tahun 156 H.”
Ia adalah seorang Imam di Basrah.
[16]Fatchur Rahman,Ikhtisar Musthalahu’l Hadits,h.204
[17]Ahmad berkata,”Barang siapa yang meriwayatkan darinya (Abdurrazzaq bin
Hammam) setelah ia buta maka riwayatnya tidak sahih. Hadis-hadis yang tertulis
dalam kitabnya adalah sahih, sementara hadis-hadis yang diluar kitabnya
merupakan talqin (pemberitaan dari orang lain) lalu ia terima “.
[18]nama lengkap beliau adalah Abi’s-Sa’ib ‘Atha’ bin Sa-ib Ats-Tsaqafy.
lihat Fatchur Rahman,Ikhtisar Musthalahu’l Hadits,h.204 dan Nuruddin
‘ltr,’Ulumul Hadis,h.128
[19]Ibnu Ma’ien mengungkapkan bahwa:”Segala orang yang mendengar hadis
darI Atha’, mendengarnya setelah ia berubah akal, kecuali Ats Tsauri dan
Syu’bah.” lihat Hasbi Ash-shidieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist (jilid
2),(Jakarta:Bulan Bintang,1976),cet.4,h.193
[20]Nuruddin ‘ltr menyarankan untuk melihat Syarah Al-Alfiyah karya
al-Iraqi, 4:153 dan catatan kaki al-‘Allamah Muhammad Raghib al-Thabbakh
terhadap Nukat al-Iraqi serta kitab al-Ightbath.