.APengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana berasal dari bahasa Arab yang berarti syariat sebelum Islam.[1]
Syar’u man qablana artinya syari’at yang ditetapkan atas umat terdahulu malalui
para rasul sebelum nabi Muhammad saw.[2] Umat terdahulu yang dimaksud ialah umat-umat Nabi atau Rasul sebelum nabi Muhammad .saw Wahbah Zuhaili mendefinisikan syar’u man qablana,:
هو الأحكام التي شرعهااللهّ تعالي للأمم السابقة عن طريق
أنبياءه كإبراهيم و موسي و
داود و عيسي
عليهم السلام
“Hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada umat
terdahulu melalui
Nabi-nabi mereka seperti Nabi Ibrahim,
Nabi Musa, Nabi Daud, dan Nabi Isa.[3]
Sebagaimana
diyakini, syariat Islam merupakan syariat terakhir yang diturunkan Allah Swt.
kepada manusia yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Dalam hal ini, baik
al-Qur’an maupun Hadis banyak berisi kisah para nabi dan Rasul terdahulu,
serta hukum-hukum syara’ yang berlaku bagi mereka dan umatnya. Berkaitan dengan
syariat para nabi tersebut, dalam kajian ushul fiqh, para ulama mengemukakan
pembahasan tentang persoalan, apakah hukum-hukum yang ada bagi umat sebelum
Islam menjadi hukum juga bagi umat Islam.[4]
Pada
hakikatnya semua syariat samawiyah termasuk syariat umat sebelum kita
itu memiliki kesamaan yaitu diturunkan oleh Allah. Hal ini diperkuat oleh
firman Allah dalam
Q.S. asy-Syura’
[42]: 13, sebagai berikut:
۞شَرَعَ
لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحٗا وَٱلَّذِيٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ
وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ
وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ كَبُرَ عَلَى ٱلۡمُشۡرِكِينَ مَا تَدۡعُوهُمۡ
إِلَيۡهِۚ ٱللَّهُ يَجۡتَبِيٓ إِلَيۡهِ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِيٓ إِلَيۡهِ مَن
يُنِيبُ ١٣
Artinya:“Dia telah
mensyari´atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat
bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka
kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).”
Para
ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa seluruh syari’at yang diturunkan
Allah sebelum Islam melalui para rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh
syari’at Islam. Mereka juga sepakat mengatakan bahwa
pembatalan syari’at-syari’at sebelum Islam itu tidak secara menyeluruh dan
rinci, karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih berlaku dalam
syari’at Islam, seperti beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishash dan
hukuman bagi pidana pencurian.[5]
.BKedudukan
Syar’u Man Qablana
Syari’at
untuk umat terdahulu sebelum nabi Muhammad saw. akan selalu disesuaikan dengan
kapasitas umat pada masanya. Syari’at yang dibawa nabi Muhammad saw. yang
dibebankan atas kaum muslimin merupakan kewajiban yang mutlak adanya. Syari’at-syari’at umat terdahulu pada
dasarnya tetap diakui sebagai syari’at samawiyah yang bersumber dari Allah swt.
Pengakuan tersebut sebagai bukti merealisasikan salah satu rukun islam yang ke-empat
yakni beriman kepada Nabi dan Rasul.[6]
Jumhur
ulama Hanafiyyah, sebagaian ulama Malikiyyah dan ulama Syafi’iyyah berkata,”
Bahwa hukum-hukum yang berlaku bagi umat sebelum kita adalah syari’at bagi
kita. Kita wajib mengikuti dan melaksanakannya selama hukum tersebut dikisahkan
kepada kita dan di dalam syari’at tidak ada sesuatu yang menghapuskannya.
Karena hukum itu adalah bagian dari hukum-hukum Ilahi yang telah disyari’atkan
oleh Allah kepada kita melalui lisan para Rasul-Nya, dan Allah juga telah
menceritakannya kepada kita, serta tidak ada dalil yang menghapuskannya, maka
wajib bagi mukallaf untuk mengikutinya.”[7]
Golongan ulama yang disebutkan diatas menyetujui syariat ini apabila syariat
kita mengharuskan untuk mengikuti. Golongan Hanafiyyah menetapkan bahwa seorang
muslim bisa dijatuhi hukuman matikarena memebunuh seorang dzimmi, dan seseorang
lelaki dijatuhi hukuman mati karena membunuh seseorang perempuan.[8]
Pendapat tersebut berdasarkan kepada mutlaknya firman Allah swt.:
“Jiwa dibalas
dengan jiwa.” (al-Maidah/5:45)
Golongan
lain mengatakan bahwa syariat umat sebelum
kita tidak berlaku bagi kita, karena sifat syariat kita menghapuskan syariat–syariat
sebelumnya, kecuali apabila syariat kita menetapkannya.
Menurut
A. Hanafie M.A, pendapat yang benar ialah pendapat dari golongan yang menyatakan bahwa hukum atau syariat
terdahulu hanya dihapuskan apabila bertentangan dengan syariat kita.[9]
Hukum yang diceritakan dalam al-Qur’an dan berlaku pada mereka dan tidak
dinyatakan terhapus tetap menjadi syariat kita . Disamping itu , al-Qur’an juga
membenarkan kitab-kitab yang turun sebelum al-Qur’an seperti Injil dan Taurat.
Selama al-Qur’an tidak menghapus syariatnya, maka berarti diakui benarnya buat
kita.
Syariat nabi-nabi yang terdahulu dibagi menjadi dua:
1. Hukum yang tidak disebutkan
syariat di dalam al-Qur’an dan
tidak juga sunnah. Hal ini tidak disyariatkan bagi umat islam.
2. Hukum yang disebutkan dalam al-Qur’an atau sunnah. Dan ini dibagi menjadi
tiga macam:
a. Pertama : hukum yang telah dinasakh dari syariat islam. Hal ini tidak
disyariatkan juga untuk kita , misal disebutkan dalam sebuah ayat: “Dan
kepada orang-orang Yahudi ,Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku[10]
, dan kami haramkan kepada mereka lemak sapi, dan domba, kecuali yang melekat
dipunggungnya atau yang dalam isi perutnya atau yang bercampur dengan
tulang.....”.(Q.S. al-An’am/6:146). Ayat tersebut dinasakh dari syariat islam
oleh ayat: “Katakanlah,’Tidak kudapati di
dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya, kecuali
daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi -karena semua itu kotor- atau hewan yang disembelih
bukan atas (nama) Allah...”. (Q.S. al-An’am/6:145).[11]
b. Kedua : hukum yang terdapat dalam syariat islam dan ini disyariatkan
kepada umat islam. Contohnya puasa, Allah swt. Berfirman: “Wahai orang-orang
yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah/2:183). Dan
dalam masalah الأضحية(sembelihan)[12],
Nabi saw. Bersabda : ضَحُّوا فإنّها سُنّة أبِيكُم إبراهِييم.[13]
c. Ketiga: hukum yang diceritakannya oleh Allah swt. Atas umat Islam di
dalam al-Qur’an atau disampaikan oleh Nabi saw. Ulama tidak mengingkari dan
tidak pula berikrar terhadap hal ini. Dan hal ini masih dalam masalah perbedaan
pendapat. Misal sebuah ayat tentang hukum qishash dalam syariat Yahudi: “Dan
telah kami tetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa di balas nyawa, mata dengan mata,
hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka
(pun) ada qisasnya (balasan yang sama).” (Q.S. al-Maidah/5:45)
C. Kehujahan Syar’u Man Qoblana
Syari’at sebelum kita, maksudnya
ialah :
ما نقل الينا من الا حكام التى شر عها
الله . للامم السابقة بواسطة انبيا ئه الذين ارسلهم الى تلك الامم كسيدنا ابراهم و
موسى و عيسى.
Artinya :“segala apa yang
dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara’ yang telah disyari’atkan Allah
SWT. Bagi umat-umat terdahulu melalui nabi-nabi-Nya yang diutus kepada umat itu
seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa AS.”
Kalangan ulama ushul fikih mempertentangkan apakah syari’at
umat sebelum kita masih tetap menjadi syari’at bagi kita yang harus diikuti,
atau apakah sebagianya saja yang menjadi syari’at bagi kita dan sebagian yang
lain tidak, atau apakah sama sekali tidak dapat dijadikan syari’at umat untuk
sekarang? Ada ulama yang bersikap tegas mengatakan bahwa bila
dikisahkan suatu syari’at yang telah ditetapkan kepada orang-orang terdahulu,
namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat bahwa hukum
tersebut tidak disyari’atkan kepada kita, seperti syari’at Nabi Musa a.s bahwa
seseorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan
membunuh dirinya. Dan jika ada najis yang menempel pada tubuh, tidak akan suci
kecuali dengan memotong anggota badan tersebut, dan lain sebagainya.[14]
Pendapat ini ber-argumen pada firman Allah SWT
:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ
مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barang siapa mencari agama
selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali
Imran : 85)[15]
Namun, sebagian ulama lainya
menyatakan bahwa tidak semua syari’at-syari’at itu di nasakh dan berlaku sampai
hari ini, seperti kewajiban beriman kepada Allah SWT, melarang kekafiran,
mengharamkan zina, pencurian dan pembunuhan.Syari’at/hukum yang berlaku dalam
agama samawi yang diturunkan Allah SWT kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad
SAW.Sering pula diceritakan didalam al-Qur’an dan As-Sunnah kepada umat Islam.
Bentuk cerita tersebut dibedakan dalam 3 bentuk yang masing-masingnya mempunyai
konsekuensi yang berbeda bagi umat Islam, yaitu :
a)
Disertai
dengan petunjuk tentang sudah di-nasakhkanya dalam syariat Islam.
b)
Disertai
dengan petunjuk tetap diakuinya dan lestarinya dalam syariat Islam.
c)
Tidak
disertai petunjuk tentang nasakh atau lestarinya.
Dalam masalah ini para ulama sepakat
mengatakan bahwa untuk masalah aqidah, syariat Islam tidak
membatalkanya.Kepercayan dan keyakinan terhadap Allah SWT sejak zaman Nabi Adam
as, berlaku sampai sekarang.Demikian juga dalam masalah hukuman,
pencurian, perzinaan, pembunuhan dan kekafiran.Hukum-hukum syariat sebelum
Islam yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunah tidak menjadi syariat
bagi Rasulullah SAW, dan umatnya. Adapun hukum-hukum syariat sebelum Islam yang
ada ketegasan berlakunya bagi umat islam dalam al-Qur’an, para ulama fikih
sepakat mengatakan bahwa hukum-hukum itu berlaku dan mengikat bagi umat Islam,
seperti puasa dan penyembelihan binatang.
Menurut Jumhur
Ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyyah
dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa apabila
hukum-hukum syari’at sebelum islam itu disampaikan kepada Rasulullah SAW.
Melalui wahyu, yaitu Al-Qur’an, bukan melalui kitab agama mereka yang telah
berubah, dengan syarat tidak ada nash yang menolak hukum-hukum itu, maka umat
islam terikat dengan hukum-hukum itu. Alasan yang di
kemukakan adalah:[16]
a.
Syariat
sebelum syariat Islam itu juga syariat yang diturunkan Allah SWT dan tidak ada
indikasi (petunjuk) yang menunjukan pembatalan syariat tersebut, karenanya umat
Islam terikat dengan syariat itu. hal itu sejalan dengan firman Allah SWT dalam
surat al-An’am ayat 90.
أُولَئِكَ
الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ........
“Mereka itulah orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka……..” (QS.
Al-An’am :90)[17]
Dalam ayat lain, Allah SWT juga
berfirman :
ثُمَّ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا........
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif…….” (QS. alNahl
: 123)[18]
Kedua ayat ini
menurut jumhur ulama, merupakan argument yang amat jelas menunjukkan bahwa umat
Islam terikat terhadap syariat yang ada sebelum Islam yang disampaikan kepada
Rasulullah SAW melalui wahyu (al-Quran). Dalam ayat lain Allah SWT berfirman
untuk mengikuti syariat Nabi Nuh AS:
شَرَعَ
لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى
وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى
الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي
إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ
يُنِيبُ
“Dia telah mensyariatkan kamu
tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan
Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat
berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.Allah
menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Al-Syuura :13).[19] Ayat lain yang
ditemukan oleh jumhur ulama sebagai alasan adalah surat al-Maidah ayat 45
وَكَتَبْنَا
عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ
وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ
وَالْجُرُوحَ قِصَاص
“Dan kami telah tetapkan
terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa,
mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan
gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya.” (QS. Al-Maidah : 45)[20]
b.
Mereka
juga beralasan dengan sabda Rasulullah SAW, berikut
من
نام عن صلاة او نسيها فليصلها اذا ذكرها قرأ قوله تعالى واقم الصلاة لذكري.
“siapa yang tertidur dan lupa
untuk melakukan sholat, maka kerjakanlah sholat itu ketika ia ingat/bangun,
kemudian Rasulullah SAW membaca ayat (kerjakanlah sholat itu mengingatku)”
HR. Buhori, Muslim dan Nasa’i.
Menurut jumhur
ulama, ayat yang dibacakan Rasulullah SAW dalam sabda beliau itu merupakan ayat
yang ditunjukan kepada Nabi Musa AS. Ulama Asyariyah, Mu’tazilah, Syi’ah,
sebagian ulama Syafiiyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad ibn Hambal (164 –
241 h / 780 – 855 m) mengatakan bahwa syariat sebelum Islam tidak menjadi
syariat bagi Rasulullah SAW dan umatnya. Pendapat ini juga di-kemukakan Imam
Al-Ghozali, Al-Amidi, Ibnu Hazm Al-Zahiri (384 – 456 h / 994 – 1064 m) dan
Fakhruddin Al-Rozi (544 – 606 h / 1150 – 1210 m), ahli fikih Syafi’i. alasan
mereka adalah :
1.
Ketika
Rasulullah SAW mengutus Mu’az bin Jabbal untuk menjadi qadi ke Yaman,
Rasulullah bertanya kepadanya
كيف
تقضي ؟ اجابه بالكتاب و السنة ؤان لم اجد في السنة اجتهد فأقره عليها .
Artinya : “bagaimana caranya
engkau menetapkan hukum…?Mu’az menjawab, Dengan Kitabullah. Jika tidak
ada dalam Kitabullah..? Dengan Sunnah Rasulullah SAW. Dan apabila dengan
Sunnah Rasulullah SAW tidak ada ?maka saya akan berijtihad. Rasulullah
memuji sikap Mu’az ini. (HR. Bukhori wa Muslim).
Dalam sikap ini Rasulullah SAW
tidak menganjurkan kepada Mu’az untuk merujuk syari’at sebelum Islam.Apabila
syariat sebelum Islam menjadi syariat bagi umat Islam. Paling tidak Rasulullah
SAW akan menganjurkan Mu’az untuk merujuknya apabila hokum yang ia cari tidak
terdapat didalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW.
2.
Firman
Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 48 :
لِكُلٍّ جَعَلْنَا
مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk tiap-tiap umat di antara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (QS. Al-Ma’idah :48).
Maksudnya setiap umat mempunyai
syariat sendiri dan suatu umat tidak dituntut untuk mengambil syariat umat
lain.
3.
Syariat
Islam merupakan syariat yang berlaku untuk seluruh umat manusia, sedangkan
syariat umat sebelum Islam hanya berlaku bagi kaum tertentu. Dalam hadis
Rasulullah SAW. Dikatakan :
كان النبي يبعث الى قومه
خاصة و بعثت الى الناس عامة .
Artinya “para Nabi diutus khusus
untuk kaumnya dan saya diutus untuk seluruh umat manusia” (HR. Bukhori,
Muslim dan Nasa’i).
Mustafa Dib Al-Bugha’ (guru besar
ushul fikih Universitas Damaskus, Syria), mengemukakan bahwa apabila
diperhatikan ketiga pendapat diatas, maka secara prinsip, hukum-hukum syariat
sebelum Islam tidak dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukum
Islam.Karena sekalipun ulama yang menerimanya menetapkan syariat sebelum Islam
bisa dijadikan alasan untuk menetapkan suatu hokum syara’ namun mereka tetap
mengatakan hokum-hukum itu harus terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah
SAW, sebagai sumber utama hukum Islam.Sumber lainya pun harus merujuk kepada
Al-Qur’an dan Sunah.Oleh sebab itu, menurut Al-Bugha’ pendirian jumhur ulama
ini bukanlah suatu yang harus dipersoalkan, karena apabila ada nashnya dalam
Al-Qur’an atau dalam Sunah Rasulullah, secara otomatis hukum-hukum itu wajib
dilaksanakan oleh umat Islam.Perbadaan pendapat ini hanyalah perbedaan dalam
ungkapan saja, karena hukum-hukum yang disebutkan seperti hukuman pembunuhan,
pencurian, perzinaan dan hukum puasa merupakan hukum yang berlaku dalam Islam
dan wajib dilaksanakan bagi umat Islam. Muhammad Abu Zahrah menyatakan apabila
syariat sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum-hukum itu
khusus bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya, namun,
apabila hukum-hukum itu bersifat umum maka hukumnya juga berlaku umum bagi
seluruh umat, seperti hukuman qisash dan puasa yang ada dalam Al-Qur’an.
[1]NasrunHaroen, UshulFiqh, (Jakarta: Logos
Publishing House, 1996), hlm. 149
[2]Ahmad Sudirman, Dasar-Dasar Masail
Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu Kencono,2003),h.101
[3]SaipudinShidiq, UshulFiqh, (Jakarta:
Kencana, 2011), cet. 2,hlm. 109
[6]K"
emudian
lelaki itu bertanya lagi,’Beritahukan aku tentang iman.’ Nabi menjawab,’Iman
ialah engkau beriman kepada Allah,malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
Rasul-Nya, hari Akhir dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan buruk.’ Ia
berkata.’Engkau benar.’”(HR.Muslim). lihat imam an-Nawawi, Terjemah Hadis
arba’in an-nawawi,(Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat,2008),cet.7,h.10
[7]Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, ter. Moh.Zuhri,Ahmad Qarib,(Semarang: Dina
Utama Semarang,2014),cet.2,h.158
[8]A. Hanafie,
Usul Fiqh, (Jakarta: WIDJAYA,1987), cet.9,h.149-150. lihat juga Andul
Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih,(Semarang: Dina Utama Semarang,2014),
cet.1,edisi 2,h.158
[9]A. Hanafie, Usul Fiqh, (Jakarta:Widjaya,1987),cet.9,h.150
[10]Hewan berkuku disini ialah hewan-hewan yang jari-jemarinya tidak
terpisah antara yang satu dengan yang lain , seperti : unta, itik, angsa, dan
lain-lain. Sebagian mufasir mengartikan dengan hewan yang berkuku satu seperti
:kuda, keledai, dan lain-lain. Lihat Departemen Agama RI, Mushaf al-Qur’an
Terjemah,(Jakarta: al-Huda Kelompok Gema Insani,2002),h.148.
[11]Wahbah al-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh,(Damaskus:
Dar al-Fikr,1995),h.101
[12]Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia,(Bandung: Fokusmedis dan Citra
Harta Prima,2011),cet.1,h.235
[13]Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh,(Damaskus: Dar
al-Fikr,1995),h.102
[14]Satria Effendi,Ushul
Fiqh[Jakarta:KENCANA:2012]Hal.162
[15] Al-Qur’an
Surat Ali-Imron ayat 85
[18]Al-Qur’an Surat An Nahl ayat 123
[19]Al Qur’an Surat Al-Syuaro ayat 13
[20]Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar