Kamis, 08 Februari 2018

Syar'u Man Qablana, Ushul Fiqh

 .APengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana berasal dari bahasa Arab yang berarti syariat sebelum Islam.[1] Syar’u man qablana artinya syari’at  yang ditetapkan atas umat terdahulu malalui para rasul sebelum nabi Muhammad saw.[2] Umat terdahulu yang dimaksud ialah umat-umat Nabi atau Rasul sebelum nabi Muhammad  .saw Wahbah Zuhaili mendefinisikan syar’u man qablana,:
هو الأحكام التي شرعهااللهّ تعالي للأمم السابقة عن طريق أنبياءه كإبراهيم و موسي و
 داود و عيسي عليهم السلام
Hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada umat terdahulu melalui Nabi-nabi mereka seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Daud, dan Nabi Isa.[3]
Sebagaimana diyakini, syariat Islam merupakan syariat terakhir yang diturunkan Allah Swt. kepada manusia yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Dalam hal ini, baik al-Qur’an maupun Hadis banyak berisi kisah para nabi dan Rasul terdahulu, serta hukum-hukum syara’ yang berlaku bagi mereka dan umatnya. Berkaitan dengan syariat para nabi tersebut, dalam kajian ushul fiqh, para ulama mengemukakan pembahasan tentang persoalan, apakah hukum-hukum yang ada bagi umat sebelum Islam menjadi hukum juga bagi umat Islam.[4]
Pada hakikatnya semua syariat samawiyah termasuk syariat umat sebelum kita itu memiliki kesamaan yaitu diturunkan oleh Allah. Hal ini diperkuat oleh firman Allah dalam Q.S. asy-Syura’ [42]: 13, sebagai berikut:
۞شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحٗا وَٱلَّذِيٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ كَبُرَ عَلَى ٱلۡمُشۡرِكِينَ مَا تَدۡعُوهُمۡ إِلَيۡهِۚ ٱللَّهُ يَجۡتَبِيٓ إِلَيۡهِ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِيٓ إِلَيۡهِ مَن يُنِيبُ ١٣
Artinya:Dia telah mensyari´atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”  
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa seluruh syari’at yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at Islam. Mereka juga sepakat mengatakan bahwa pembatalan syari’at-syari’at sebelum Islam itu tidak secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari’at Islam,  seperti beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishash dan hukuman bagi pidana pencurian.[5]
 .BKedudukan Syar’u Man Qablana
Syari’at untuk umat terdahulu sebelum nabi Muhammad saw. akan selalu disesuaikan dengan kapasitas umat pada masanya. Syari’at yang dibawa nabi Muhammad saw. yang dibebankan atas kaum muslimin merupakan kewajiban yang mutlak adanya.  Syari’at-syari’at umat terdahulu pada dasarnya tetap diakui sebagai syari’at samawiyah yang bersumber dari Allah swt. Pengakuan tersebut sebagai bukti merealisasikan salah satu rukun islam yang ke-empat yakni beriman kepada Nabi dan Rasul.[6]
Jumhur ulama Hanafiyyah, sebagaian ulama Malikiyyah dan ulama Syafi’iyyah berkata,” Bahwa hukum-hukum yang berlaku bagi umat sebelum kita adalah syari’at bagi kita. Kita wajib mengikuti dan melaksanakannya selama hukum tersebut dikisahkan kepada kita dan di dalam syari’at tidak ada sesuatu yang menghapuskannya. Karena hukum itu adalah bagian dari hukum-hukum Ilahi yang telah disyari’atkan oleh Allah kepada kita melalui lisan para Rasul-Nya, dan Allah juga telah menceritakannya kepada kita, serta tidak ada dalil yang menghapuskannya, maka wajib bagi mukallaf untuk mengikutinya.”[7] Golongan ulama yang disebutkan diatas menyetujui syariat ini apabila syariat kita mengharuskan untuk mengikuti. Golongan Hanafiyyah menetapkan bahwa seorang muslim bisa dijatuhi hukuman matikarena memebunuh seorang dzimmi, dan seseorang lelaki dijatuhi hukuman mati karena membunuh seseorang perempuan.[8] Pendapat tersebut berdasarkan kepada mutlaknya firman Allah swt.:
“Jiwa dibalas dengan jiwa.” (al-Maidah/5:45)
Golongan lain mengatakan bahwa syariat  umat sebelum kita tidak berlaku bagi kita, karena sifat syariat kita menghapuskan syariat–syariat sebelumnya, kecuali apabila syariat kita menetapkannya.
Menurut A. Hanafie M.A, pendapat yang benar ialah pendapat dari golongan  yang menyatakan bahwa hukum atau syariat terdahulu hanya dihapuskan apabila bertentangan dengan syariat kita.[9] Hukum yang diceritakan dalam al-Qur’an dan berlaku pada mereka dan tidak dinyatakan terhapus tetap menjadi syariat kita . Disamping itu , al-Qur’an juga membenarkan kitab-kitab yang turun sebelum al-Qur’an seperti Injil dan Taurat. Selama al-Qur’an tidak menghapus syariatnya, maka berarti diakui benarnya buat kita.
Syariat nabi-nabi yang terdahulu dibagi menjadi dua:
1.      Hukum yang tidak disebutkan  syariat di dalam al-Qur’an  dan tidak juga sunnah. Hal ini tidak disyariatkan bagi umat islam.
2.      Hukum yang disebutkan dalam al-Qur’an atau sunnah. Dan ini dibagi menjadi tiga macam:
a.       Pertama : hukum yang telah dinasakh dari syariat islam. Hal ini tidak disyariatkan juga untuk kita , misal disebutkan dalam sebuah ayat: “Dan kepada orang-orang Yahudi ,Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku[10] , dan kami haramkan kepada mereka lemak sapi, dan domba, kecuali yang melekat dipunggungnya atau yang dalam isi perutnya atau yang bercampur dengan tulang.....”.(Q.S. al-An’am/6:146). Ayat tersebut dinasakh dari syariat islam  oleh ayat: “Katakanlah,’Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi -karena  semua itu kotor- atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah...”. (Q.S. al-An’am/6:145).[11]
b.     Kedua : hukum yang terdapat dalam syariat islam dan ini disyariatkan kepada umat islam. Contohnya puasa, Allah swt. Berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah/2:183). Dan dalam masalah  الأضحية(sembelihan)[12], Nabi saw. Bersabda : ضَحُّوا فإنّها سُنّة أبِيكُم إبراهِييم.[13]
c.       Ketiga: hukum yang diceritakannya oleh Allah swt. Atas umat Islam di dalam al-Qur’an atau disampaikan oleh Nabi saw. Ulama tidak mengingkari dan tidak pula berikrar terhadap hal ini. Dan hal ini masih dalam masalah perbedaan pendapat. Misal sebuah ayat tentang hukum qishash dalam syariat Yahudi: “Dan telah kami tetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat)  bahwa nyawa di balas nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama).” (Q.S. al-Maidah/5:45)

C. Kehujahan Syar’u Man Qoblana
Syari’at sebelum kita, maksudnya ialah :
ما نقل الينا من الا حكام التى شر عها الله . للامم السابقة بواسطة انبيا ئه الذين ارسلهم الى تلك الامم كسيدنا ابراهم و موسى و عيسى.
Artinya :“segala apa yang dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara’ yang telah disyari’atkan Allah SWT. Bagi umat-umat terdahulu melalui nabi-nabi-Nya yang diutus kepada umat itu seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa AS.”
Kalangan ulama ushul fikih mempertentangkan apakah syari’at umat sebelum kita masih tetap menjadi syari’at bagi kita yang harus diikuti, atau apakah sebagianya saja yang menjadi syari’at bagi kita dan sebagian yang lain tidak, atau apakah sama sekali tidak dapat dijadikan syari’at umat untuk sekarang? Ada ulama yang bersikap tegas mengatakan bahwa bila dikisahkan suatu syari’at yang telah ditetapkan kepada orang-orang terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat bahwa hukum tersebut tidak disyari’atkan kepada kita, seperti syari’at Nabi Musa a.s bahwa seseorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan membunuh dirinya. Dan jika ada najis yang menempel pada tubuh, tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota badan tersebut, dan lain sebagainya.[14]
 Pendapat ini ber-argumen pada firman Allah SWT :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran : 85)[15]
Namun, sebagian ulama lainya menyatakan bahwa tidak semua syari’at-syari’at itu di nasakh dan berlaku sampai hari ini, seperti kewajiban beriman kepada Allah SWT, melarang kekafiran, mengharamkan zina, pencurian dan pembunuhan.Syari’at/hukum yang berlaku dalam agama samawi yang diturunkan Allah SWT kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW.Sering pula diceritakan didalam al-Qur’an dan As-Sunnah kepada umat Islam. Bentuk cerita tersebut dibedakan dalam 3 bentuk yang masing-masingnya mempunyai konsekuensi yang berbeda bagi umat Islam, yaitu :
a)      Disertai dengan petunjuk tentang sudah di-nasakhkanya dalam syariat Islam.
b)      Disertai dengan petunjuk tetap diakuinya dan lestarinya dalam syariat Islam.
c)      Tidak disertai petunjuk tentang nasakh atau lestarinya.
Dalam masalah ini para ulama sepakat mengatakan bahwa untuk masalah aqidah, syariat Islam tidak membatalkanya.Kepercayan dan keyakinan terhadap Allah SWT sejak zaman Nabi Adam as, berlaku sampai sekarang.Demikian juga dalam masalah hukuman, pencurian, perzinaan, pembunuhan dan kekafiran.Hukum-hukum syariat sebelum Islam yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunah tidak menjadi syariat bagi Rasulullah SAW, dan umatnya. Adapun hukum-hukum syariat sebelum Islam yang ada ketegasan berlakunya bagi umat islam dalam al-Qur’an, para ulama fikih sepakat mengatakan bahwa hukum-hukum itu berlaku dan mengikat bagi umat Islam, seperti puasa dan penyembelihan binatang.
Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari’at sebelum islam itu disampaikan kepada Rasulullah SAW. Melalui wahyu, yaitu Al-Qur’an, bukan melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash yang menolak hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan hukum-hukum itu. Alasan yang di kemukakan adalah:[16]                                                            
a.       Syariat sebelum syariat Islam itu juga syariat yang diturunkan Allah SWT dan tidak ada indikasi (petunjuk) yang menunjukan pembatalan syariat tersebut, karenanya umat Islam terikat dengan syariat itu. hal itu sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat al-An’am ayat 90.
أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ........
 “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka……..” (QS. Al-An’am :90)[17]
Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman :
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا........
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif…….” (QS. alNahl : 123)[18]
Kedua ayat ini menurut jumhur ulama, merupakan argument yang amat jelas menunjukkan bahwa umat Islam terikat terhadap syariat yang ada sebelum Islam yang disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui wahyu (al-Quran). Dalam ayat lain Allah SWT berfirman untuk mengikuti syariat Nabi Nuh AS:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي
 إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
Dia telah mensyariatkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Al-Syuura :13).[19] Ayat lain yang ditemukan oleh jumhur ulama sebagai alasan adalah surat al-Maidah ayat 45

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاص
Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya.” (QS. Al-Maidah : 45)[20]

b.      Mereka juga beralasan dengan sabda Rasulullah SAW, berikut
من نام عن صلاة او نسيها فليصلها اذا ذكرها قرأ قوله تعالى واقم الصلاة لذكري.
siapa yang tertidur dan lupa untuk melakukan sholat, maka kerjakanlah sholat itu ketika ia ingat/bangun, kemudian Rasulullah SAW membaca ayat (kerjakanlah sholat itu mengingatku)” HR. Buhori, Muslim dan Nasa’i.
Menurut jumhur ulama, ayat yang dibacakan Rasulullah SAW dalam sabda beliau itu merupakan ayat yang ditunjukan kepada Nabi Musa AS. Ulama Asyariyah, Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian ulama Syafiiyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad ibn Hambal (164 – 241 h / 780 – 855 m) mengatakan bahwa syariat sebelum Islam tidak menjadi syariat bagi Rasulullah SAW dan umatnya. Pendapat ini juga di-kemukakan Imam Al-Ghozali, Al-Amidi, Ibnu Hazm Al-Zahiri (384 – 456 h / 994 – 1064 m) dan Fakhruddin Al-Rozi (544 – 606 h / 1150 – 1210 m), ahli fikih Syafi’i. alasan mereka adalah :
1.      Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’az bin Jabbal untuk menjadi qadi ke Yaman, Rasulullah bertanya kepadanya
كيف تقضي ؟ اجابه بالكتاب و السنة ؤان لم اجد في السنة اجتهد فأقره عليها .
Artinya : “bagaimana caranya engkau menetapkan hukum…?Mu’az menjawab, Dengan Kitabullah. Jika tidak ada dalam Kitabullah..? Dengan Sunnah Rasulullah SAW. Dan apabila dengan Sunnah Rasulullah SAW tidak ada ?maka saya akan berijtihad. Rasulullah memuji sikap Mu’az ini. (HR. Bukhori wa Muslim).
Dalam sikap ini Rasulullah SAW tidak menganjurkan kepada Mu’az untuk merujuk syari’at sebelum Islam.Apabila syariat sebelum Islam menjadi syariat bagi umat Islam. Paling tidak Rasulullah SAW akan menganjurkan Mu’az untuk merujuknya apabila hokum yang ia cari tidak terdapat didalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW.
2.      Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 48 :
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (QS. Al-Ma’idah :48).
Maksudnya setiap umat mempunyai syariat sendiri dan suatu umat tidak dituntut untuk mengambil syariat umat lain.
3.      Syariat Islam merupakan syariat yang berlaku untuk seluruh umat manusia, sedangkan syariat umat sebelum Islam hanya berlaku bagi kaum tertentu. Dalam hadis Rasulullah SAW. Dikatakan :
كان النبي يبعث الى قومه خاصة و بعثت الى الناس عامة .
Artinya “para Nabi diutus khusus untuk kaumnya dan saya diutus untuk seluruh umat manusia” (HR. Bukhori, Muslim dan Nasa’i).
Mustafa Dib Al-Bugha’ (guru besar ushul fikih Universitas Damaskus, Syria), mengemukakan bahwa apabila diperhatikan ketiga pendapat diatas, maka secara prinsip, hukum-hukum syariat sebelum Islam tidak dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.Karena sekalipun ulama yang menerimanya menetapkan syariat sebelum Islam bisa dijadikan alasan untuk menetapkan suatu hokum syara’ namun mereka tetap mengatakan hokum-hukum itu harus terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW, sebagai sumber utama hukum Islam.Sumber lainya pun harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunah.Oleh sebab itu, menurut Al-Bugha’ pendirian jumhur ulama ini bukanlah suatu yang harus dipersoalkan, karena apabila ada nashnya dalam Al-Qur’an atau dalam Sunah Rasulullah, secara otomatis hukum-hukum itu wajib dilaksanakan oleh umat Islam.Perbadaan pendapat ini hanyalah perbedaan dalam ungkapan saja, karena hukum-hukum yang disebutkan seperti hukuman pembunuhan, pencurian, perzinaan dan hukum puasa merupakan hukum yang berlaku dalam Islam dan wajib dilaksanakan bagi umat Islam. Muhammad Abu Zahrah menyatakan apabila syariat sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum-hukum itu khusus bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya, namun, apabila hukum-hukum itu bersifat umum maka hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh umat, seperti hukuman qisash dan puasa yang ada dalam Al-Qur’an.


[1]NasrunHaroen, UshulFiqh, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hlm. 149
[2]Ahmad Sudirman, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu Kencono,2003),h.101
[3]SaipudinShidiq, UshulFiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), cet. 2,hlm. 109
[4]Abd. Rahman Dahlan,UshulFiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), cet. 1, hlm. 230
[5]Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: elSAS, 2008), cet. 1, hlm. 223
[6]K" emudian lelaki itu bertanya lagi,’Beritahukan aku tentang iman.’ Nabi menjawab,’Iman ialah engkau beriman kepada Allah,malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan buruk.’ Ia berkata.’Engkau benar.’”(HR.Muslim). lihat imam an-Nawawi, Terjemah Hadis arba’in an-nawawi,(Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat,2008),cet.7,h.10
[7]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, ter. Moh.Zuhri,Ahmad Qarib,(Semarang: Dina Utama Semarang,2014),cet.2,h.158
[8]A. Hanafie, Usul Fiqh, (Jakarta: WIDJAYA,1987), cet.9,h.149-150. lihat juga Andul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih,(Semarang: Dina Utama Semarang,2014), cet.1,edisi 2,h.158
[9]A. Hanafie, Usul Fiqh, (Jakarta:Widjaya,1987),cet.9,h.150
[10]Hewan berkuku disini ialah hewan-hewan yang jari-jemarinya tidak terpisah antara yang satu dengan yang lain , seperti : unta, itik, angsa, dan lain-lain. Sebagian mufasir mengartikan dengan hewan yang berkuku satu seperti :kuda, keledai, dan lain-lain. Lihat Departemen Agama RI, Mushaf al-Qur’an Terjemah,(Jakarta: al-Huda Kelompok Gema Insani,2002),h.148.
[12]Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia,(Bandung: Fokusmedis dan Citra Harta Prima,2011),cet.1,h.235
[13]Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh,(Damaskus: Dar al-Fikr,1995),h.102
[14]Satria Effendi,Ushul Fiqh[Jakarta:KENCANA:2012]Hal.162

[15] Al-Qur’an Surat Ali-Imron ayat 85
[16]Nasrun Haroen, ushul fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 152.
[17]Al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 90
[18]Al-Qur’an Surat An Nahl ayat 123
[19]Al Qur’an Surat Al-Syuaro ayat 13
[20]Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Metode Tafsir : Tafsir Sahabat

PEMBAHASAN TAFSIR SAHABAT A. Pengertian Sahabat Sebagai Mufassir Tafsir Al-Qur’an telah tumbuh dimasa Nabi Saw. dan beliaulah pena...