PEMBAHASAN
Wahbah Zuhaili dalam kitabnya ushul
fiqh al-Islami memilih kata sunah untuk sumber hukum yang kedua setelah
al-Qur'an ini. Mengapa bukan istilah khabar
atau atsar? Karena kata sunah
lebih tepat disbanding dengan kata khabar
dan atsar. Kata khabar itu pengertiannya sama dengan hadits
yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi atau kepada sahabat atau selainnya
berupa ucapan, perbuatan, taqrir dan
sifat. Adapun atsar adalah hadis marfu’ atau maukuf tetapi ularna fiqh
lebih cenderung memilih maukuf.
Sunah merupakan sumber hukum kedua yang muttafak (disepekati)
setelah al-Qur'an. Menurut fuqaha sunah mengandung dua pengertian, pertama
ibadah yang bukan wajib (nafal) dan
kedua lawan dari bid'ah.[2]
Kata "sunah" (سنّة)berasal dari bahasa Arab
yang terbentuk dari kata سنّ-يسنّ. Secara bahasa artinya
jalan atau cara. Dalam al-Qur'an kata sunah disebut sebanyak 16 kali,
yang tersebar dalarn beberapa surat yang mengandung arti kebiasaan yang berlaku
dan jalan yang diikuti, seperti firman Allah SWT.
قَدْ
خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيْرُواْ فِي الْاَرْضِ فَانْظُرُواْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ
الْمُكَذِّبِيْنَ
Artinya: “Sesungguhnya telah berlalu jalan-jalan (kebiasaan) sebelum
kamu. Karena itu, berjalanlah kamu dimuka bumi ini. Dan perhatikanlah oleh kamu
semua bagaimana kesudahan orang-orang yang berdusta.” (QS. Ali Imran/3:
137)
Adapun menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu
Zahra. Sunah mengandung arti:
أَقْوَالُ النَّبِيِّ وَأَفْعَالُهُ وَتَقْرِيْرَاتُهُ
Artinya: “Perkataan,perbuatan, dan pengakuan Nabi”.
Dengan demikian apa yang datang dari Nabi berupa
perkataan, perbuatan, dan pengakuan Nabi terhadap suatu
peristiwa dapat dikatakan sunah.[3]
B. Macam-macam Sunnah
Dilihat dari bentuknya sunah dapat
dibedakan menjadi:
1. Sunah Qauliyah
Sunah qauliyah dilihat dari jumlahnya paling banyak dibanding
sunahfi'liyah dan taqririyah. Sunah qauliyah artinya ucapan Nabi dalam berbagai kondisi yang didengar
oleh sahabat dan disampaikannya kepadaorang lain.Contohnya sahabat mendengar
bahwasanya Nabi berkata:
لَا
ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Artinya: “Tidak boleh
membuat kesusahan dan tidak boleh membalasdengan kesusahan juga”.
Dalam sunah qauliyah
terdapat permasalahan yang tampaknya perlu dipertegas karena ada dua
bentukyang dapat keluar dari lisan Nabi.Pertama, bisa berupa perkataanNabi(sunah qauliyah) bisa juga berupaayat alQur'an.
Untuk membedakan apakah itu qauliyah atau
alQur'anmaka dapat diteliti,jika yangkeluar dari lisan Nabi itu ayat alOur'an,
makabiasanya Nabi menyuruh sahabatnya untuk menghafal, menulis, dan
mengurutkannya sesuaipetunjukAllah. Jika yang keluardari lisanNabiini berupa sunah
qauliyah maka Nabi melarang untuk menuliskannya karena khawatir akan
bercampur dengan al-Quran.
2.
Sunah Fi'liyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat dan
diperhatikan oleh sahabat Nabi semuanya disebut dengan sunah fi’liyah. Perbuatan
Nabi dapat beraneka ragam bentuknya. Hal ini, dapat dilihat dari kedudukun Nabi
sebagai manusia biasa dan sebagai utusan Allah.
Pertama, perbuatan Nabi yang
merupakan kebiasaan yang lumrah dikerjakan oleh manusia pada umumnya seperti
cara makan dan minum, berdiri, duduk, cara berpakaian, memelihara jenggot dan
mencukur kumis. Kesemuanya merupakan tabiat Nabi sebagai manusia biasa. Menurut
sebagian ulama bahwa kebiasaan kemanusiaan Nabi seperti itu dapat berdampak
hukum, yaitu sebagai sunah untuk diikuti. Tetapi sebagian ulama yang lain, mengatakan
bahwa kebiasaan-kebiasaan Nabi seperti itu tidak berdampak hukum dengan
demikian tidak harus diikuti.
Kedua, perbuatan Nabi yang hanya
wajib dilakukan oleh Nabi tetapi tidak wajib bagi umatnya seperti Nabi wajib
shalat dhuha, tahajud, dan berqurban. Bagi umatnya perbuatan-perbuatan tersebut
tidaklah wajib. Nabi boleh kawin lebih dari empat, namun bagi umatnya tidak
boleh lebih dari empat.
Ketiga, perbuatan Nabi yang
merupakan penjelasan hukum yang terkandung dalam al-Qur'an seperti tentang cara
shalat, puasa, haji, jual beli, dan utang piutang, maka semua perbuatan
itu berdampak kepada pembentukan hukum
bukan hanya bagi Nabi tetapi juga bagi umatnya. Hal ini diperkuat oleh beberapa
hadits Nabi,diantaranya:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي
أُصَلِّي(رواه البخاري)
Artinya:
“Shalatlah kamu semua sebagaimana kamu melihatku shalat.” (HR. Bukhari)
خُدُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
(رواه مسليم)
Artinya:
“Ambillah dariku tentang cara-caraku dalam beibadah haji.” (HR. Muslim)
3. Sunah
Taqririyah
Maksudnya ialah sikap Nabi
terhadap suatu kejadian yang dilihatnyaberupa perbuatan
dan ucapan sahabat.
Sikap Nabi itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, tidak menunjukkan
tanda-tanda mengingkari atau menyetujuinya atau melahirkan anggapan baik
terhadap perbuatan itu sehingga dengan adanya ikrar Nabi perbuatan itu dianggap
sebagai perbuatan Nabi yang hukumnya boleh dilakukan. Contoh,ketika Nabi
mendiamkanorang yang memakan binatang dhab (sebangsa biyawak).Dengan
sikapdiam Nabiitu berartiboleh hukumnya memakandaging tersebut. Karenaseandainyaharam
niscayaNabi tidak diam, pasti beliaumelarangnya. Contohlain,ketika Nabi menepuk
dada Muadz bin Jabalsetelah diutus oleh Nabi ke negeri Yaman yang menandakan
bahwa nabi membenarkan semua yang dikatakan oleh Muadzbin Iabal serayaberkata "Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongankepada utusan Rasul-Nya".[4]
C. Periwayatan Sunnah
Ketiga macam Sunnah tersebut (qauliyah,
fi’liyah dan taqririyah) disampaikan dan disebarluaskan oleh yang
melihat, mendengar, menerima dan yang mengalaminya dari Nabi secara beranting
melalui pemberitaan atau khabar, hingga sampai kepada orang yang mengumpulkan,
menuliskan dan yang membukukannya sekitar abad ketiga Hijriah.
Kekuatan
suatu khabar ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: berkesinambungannya khabar
itu dari yang menerimannya dari nabi sampai kepada orang yang mengumpulkan dan
membukukannya; kuantitas orang yang membawa khabar itu untuk setiap sambungan;
dan faktor kualitas pembawa khabar dari segi kuat dan setia ingatannya, juga
dari segi kejujuran dan keadilannya.
Dari
segi jumlah pembawa khabar, ulama membawa khabar itu kepada tiga tingkatan:
1.
Khabar mutawatir,
yaitu khabar yang disampaikan secara
berkesinambungan oleh orang banyak
kepada orang banyak yang kuantitasnya untuk setiap sambungan mencapai
jumlah tertentu yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.
2.
Khabar masyhur,
yaitu khabar yang diterima dari Nabi oleh beberapa orang sahabat kemudian
disampaikan kepada orang banyak yang untuk selanjutnya disampaikan pula kepada
orang banyak yang jumlahnya mencapai ukuran batas khabar mutawatir.
3.
Khabar ahad,
yaitu khabar yang disampaikan dan diterima dari nabi secara perorangan dan
dilanjutkan periwayatannya samapai kepada perawi akhir secara perorangan pula.
Perbedaan yang
jelas diantara ketiganya adalah:
1.
Khabar mutawatir
diterima dan disampaiakan dari pangkal sampai keujung secara mutawatir.
2.
Khabar masyhur
yaitu khabar yang diterima dan disampaikan pada tingkat awal secara perseorangan,
kemudian dilanjutkan sampai ke ujungnya secara mutawatir.
3.
Khabar ahad diterima
dan disampaikan kemudian secara beranting sampai ke ujungnya secara
perorangan.
Tingkat
kebenarannya yang paling tinggi adalah khabar mutawatir, khabar masyhur,
lalu barulah khabar ahad.
D. Kebenaran khabar dari segi Ibarat yang
Digunakan Pembawa berita dalam menyampaikan berita
Sebagaimana telah diuraikan bahwa
kebenaran suatu Sunnah Nabi
tergantung pada kebenaran berita yang
disampaikan pembawa berita tentang Sunnah
itu. Tingkat kebenaran berita dapat diketahui dari kuantitas pembawa
berita, juga dari ibarat yang digunakan pembawa berita itu.
Dalam hal ini terdapat beberapa tingkat
kebenaran:
1.
Tingkat
yang terkuat, bila pembawa berita mengatakan, “Saya mendengar bahwa Nabi
bersabda” atau “Nabi memeberitakan kepada saya” atau, “Nabi berbicara dengan
saya”.
Bentuk
penyampaian seperti ini menunjukkan suatu seperti tentang adanya ucapan nabi dan tidak ada kemungkinan lain.
2.
Penyampaian
berita berkata, “Rasul Allah berkata.” Bentuk seperti ini, dan yang biasa
ditemui dalam periwayatan, menurut zhahirnya memang berbentuk penukilan berita,
tetapi tidak menunjukkan secara jelas dan pasti bahwa ia menerima sendiri
secara langsung ucapan Nabi itu.
3.
Bila
pembawa berita mengatakan, “Nabi menyuruh kami berbuat ini”, atau “Nabi
melarang kami mengerjakan itu”.
Kelemahan periwayatan seperti ini karena ditemukan ada dua kemungkinan
dalam ucapannya itu. Pertama dalam hal
pendengarnya terhadap ucapan Nabi. Kedua tentang adanya “suruhan”, karena
seorang pendengar kadang menganggap sesuatu seperti suruhan
tetapi sebenernya bukan suruhan.
4.
Pembawa
berita berkata, “Adalah nabi Muhammad SAW menyuruh begini atau melarang
begitu”. Pemberitaan dalam bentuk ini lebih lemah dibandingkan dengan tiga
bentuk sebelumnya karena adanya kemungkinan-kemungkinan sebagaimana terdapat
pada tingkat sebelumnya, juga ada kemungkinan yang menyuruh atau melarang bukan
Nabi secara langsung.
5.
Si
pembawa berita berkata bahwa ia melakukan sesuatu kemudian ia meng-hubungkan
kepada suatu masa dengan Nabi dan tidak ada reaksi dari Nabi tentang itu. Hal
tersebut menjadi dalil kebolehan berbuat sesuatu itu.
E. Fungsi Sunnah
Dalam uraian tentang al-Qur’an telah dijelaskan
bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an adalah dalam bentuk garis
besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari
Sunnah. Dengan demikian fungsi Sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan
al-Qur’an.
Dengan demikian bila al-Qur’an disebut sebagai
sumber asli bagi hukum fiqh, maka Sunnah disebut sebagai bayani. Dalam
kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan al-Qur’an, ia
menjalankan fungsi sebagai berikut:
1.
Menguatkan
dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid
dan taqrir. Dalam bentuk ini Sunnah hanya seperti mengulangi apa-apa
yang tersebut dalam al-Qur’an.
Umpamanya
firman Allah dalam surat al-baqarah (2): 110:
وَ أَقيموا
الصلاة واتوا الز كاة ....
Dan
diriknlah shalat dan tunaikanlah zakat....
2.
Memberikan
penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an dalam hal:
·
Menjelaskan
arti yang masih samar dalam al-Qur’an
·
Merinci
apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara garis besar
·
Membatasi
apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum
·
Memperluas
maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an
3.
Menetapkan
sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam
al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Sunnah menetapkan sendiri
hukum yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an. Fungsi Sunnah dalam bentuk ini
disebut “itsbat” atau “insya”.
Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan
jelas bahwa apa yang ditetapkan Sunnah itu pada hakikatnya adalah penjelasan
terhadap apa yang disinggung al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan
al-Qur’an secara terbatas.
Dari tiga poin
di atas, kemudian fungsi hadis dapat dijabarkan dalam beberapa poin yang oleh
ulama diperinci keberbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar ada empat
makna fungsi penjelasan (bayan) hadis
terhadap al-Qur’an, yaitu sebagai berikut :[5]
(1)
BayanTaqrir [6]
Posisi hadis
sebagai penguat (taqrir ) atau memperkuat keterangan al-qur’an
(ta’kid ). Sebagian ulama menyebut bayan ta’kid atau bayan
taqrir . Artinya hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan al-qur’an, misalnya
hadis tentang shalat, zakat, puasa, dan haji, menjelaskan ayat-ayat al-qur’an
tentang hal itu juga.
Dari
Ibnu Umar R.A berkata: rasulullah SAW bersabda: islam didirikan atas lima
perkara; menyaksikan bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah dan bahwa
Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa
ramadhan. (HR. Al-Bukhari) .
Hadis di atas
memperkuat keterangan perintah shalat, zakat, danp uasadalam AL-qur’an surah
Al-Baqarah (2): 83 dan 183 dan perintah haji pada surah Al-Imran (3): 97. 2.
(2)
Bayan
Tafsir [7]
Hadis sebagai
penjelas (tafsir ) terhadap Al-qur’an dan fungsi inilah yang terbanyak
pada umumnya. Penjelasan yang diberikan ada 3 macam, yaitu sebagai
berikut :
Tafshil Al-Mujmal
Hadis memberi penjelasan secara terperinci pada
ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat global, baik menyangkut masalah ibadah maupun
hukum, sebagian ulama menyebutnya bayan tafshil atau bayan tafsir . Misalnya perintah shalat
pada beberapa ayat dalam Al-qur’an hanya diterangkan secara global, yaitu
dirikanlah shalat, tanpa disertai petunjuk bagaimana pelaksanaannya;
berapa kali sehari semalam, berapa rakaat, kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan
lain sebagainya. Perincian itu terdapat pada hadis Nabi, misalnya sabda Nabi:
“Shalatlah
sebagaimana engkau melihataku shalat.” (HR. Al-Bukhari)
D. Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
Umat
Islam telah sepakat bahwa sunnah mempunyai kedudukan dalam sumber hukum islam.
Sunnah menempati urutan kedua sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur’an.
Maknanya, ada keharusan mengikuti Hadis bagi umat islam baik berupa perintah
maupun larangan,sama halnya dengan kewajiban untuk berpegang pada Al-Qur’an.
Untuk
mengetahui sejauh mana kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam, dapat
dilihat beberapa dalil naqli dan ‘aqli berikut:
a). Dalil Al-Qur’an
Banyak
ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang tetap teguh memegang tali agama Allah
swt.,mentaati Rasul karena ia adalah utusan-Nya kepada umat manusia. dalil
Al-Qur’an tentang kedudukan hadis: Ali ‘Imran ayat 17,32dan an-Nisa’ayat
59,136. al-Hasyr ayat 7, al-Maidah ayat 92, an-Nur ayat 54.[8]
يا ايها الذين ا
منوا اطيعواالله واطيعوا الرسول واولى الامر منكم فاءن تنازعتم فى شىء فردوه الى
الله والرسول
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulnya dan
ulil amri dari kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu ,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah). (Q.S.
an-Nisa’:59)
و ما كان لموء من ولا موء منة اذا قضى الله و
رسوله امر ان يكون لهم الخيرة من ا مرهم
Artinya:
“Dan tidaklah
patut bagi laki-laki mukmin dan perempuan yang mukmin,apabila Allah dan
Rasulnya tidak menetapkan suatu ketetapan, aka nada bagi mereka pilihan yang
lain.” (Q.S.Al-Ahzab:36)
b). Ijma’u’sh-shahabat
Sahabat
telah sepakat menetapkan wajibul ‘ittiba’ terhadap Al-Hadis,baik pada masa
Rasulullah masih hidup maupun setelah wafat. Ketika Rasulullah masih hidup,
para sahabat begitu konskuen mentaati perintah nabi saw. mengikuti
perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. ketika Rasul telah wafat,
para sahabat bila tidak menemukan dalam Al-Qur’an tentang sesuatu perkara
,mereka akan mencarinya dalam hadist. Abu Bakar sendiri apabila tidak ingat
ketentuan dalam sebuah hadist , kemudian menanyakan kepada siapa yang masih
mengingatnya.[9]
Umar dan sahabat lainya pun demikian , dan dikalangan tabiin tidak ada yang mengingkarinya
karena itu merukan ijma’ shahabat.
Abdurrhman
bin Yazid pernah melihat seorang lelaki melakukan ihram di musim haji dengan
mengenakan pakaian yang berjahit. Abdurrahman pun menegur orang tersebut agar
melepas pakaiannya dan memintanya mengikut sunnah Nabi saw. tentang cara
berpakaian saat berihram. Lelaki itu berkata kepadanya,” Coba bacakan kepadaku
ayat Al-Qur’an yang mengahruskanku melepas pakaianku ini”. Abdurrahman
membacakan firman Allah ini,”Apapun yang diberikan Rasul kepada kalian,terimalah,
Dan apa saja yang ia larang bagi kalian tinggalkanlah.”(Q.S.al-Hasyr :7).[10]
Permasalahan tentang baju berjahit ketika ihram memang tidak ada dalam
al-Qur’an, tetapi dijelaskan oleh Hadis. begitulah kedudukan sunnah terhadap
syar’i.
c). Menurut
Petunjuk Akal
Dalam
melaksanakan tugas agama, yakni menyampaikan hukum-hukum syariat kepada umat,
kadang-kadang beliau menyampaikan hal itu berdasarkan wahyu yang diturunkan
Allah swt. terkadang beliau berijtihad sendiri pada suatu permasalahan yang tidak
ada pada wahyu. hasil ijtihad tersebut berlaku sampai ada nash yang
menasakhkannya. Maka layaklah apabila peraturan atau inisiatif beliau , baik
dari wahyu maupun ijtihad beliaukita tempatkan sebagai hukum yang positif.
dalam surat al-Hasyir Allah berfirman:
“Apa-apa
yang disampaikan Rasulullah kepadamu,terimalah, dan apa-apa yang dilarangnya
bagimu tinggalkanlah.”(Q.S.Al-Hasyir: 7)
Golongan yang
Menolak Kehujjahan Al-Hadist
Disamping
adanya kesepakatan dikalangan umat muslim tentang kehujjahan hadits,terdapat
pula penolakkan dari sejumlah kecil
golongan umat muslim tentang hadist sebagai sumber syari’at setelah
al-Qur’an. Berikut alasan mereka:
1. firman Allah swt. :
“Dan
kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu sebagai penjelas segala sesuatu.”(An-Nahl:
89)
Mereka yang menolak hadits bependapat bahwa
ayat diatas mengandung makna Al-Qur’an itu telah mencakup seluruh persoalan
agama,hukum-hukum,penjelasan,serta perincian sedetail-detailnya,hingga tidak
memerlukan lagi yang lain,seperti hadist. Bahkan mereka berkesimpulan bahwa
jika masih memerlukannya, niscaya didalam Al-Qur’an masih terdapat sesuatu yang dilalaikan.
2. Bahkan andaikata al-Hadits itu sebagai hujjah,
niscaya Rasulullah memerintahkan untuk menulisnya dan sahabat pasti telah
membuat dewan hadist untuk disatukan, agar tidak dilupakan dan hilang. Yang
demikian itu agar diterimakaum muslimin sacar qath’i. sebab dalil yann
dhannytidak sah berhujjah
Ini hanyalah pendapat sebagian kecil umat islam, dan tentu saja
semua alasan penolakan hadist sebagai hujjah ialah suatu kesalahan karena
Al-Qur’an dan al-Hadist adalah suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan
sebagai sumber hukum bagi umat islam.
[1] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), Cet.
ke-2, hlm. 54.
[2] Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqh, (al-Raudhah, 1998),
Cet. ke-1, hlm. 148.
[3] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, tt.),
hlm. 105.
[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Dakwah
al-Islamiyah, tt.), hlm. 37
[5]Abdul Majid Khan, UlumulHadis,Amzah,
Jakarta, 2013, cet-II.Hlm. 18
[6]Abdul Majid Khan, UlumulHadis,Amzah,
Jakarta, 2013, cet-II.Hlm. 18-19
[7]Abdul Majid Khan, UlumulHadis,
Amzah, Jakarta, 2013, cet-II.Hlm. 19-21
[8] Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis,Jakarta: PT GMP,1995,H.20
[9]Fatchur Rahman,Ikhtisar Musthalahul Hadits,Bandung: PT
Alma’arif,1974,h.62
[10]Shubhi As-Shalih,Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,Jakarta: Pustaka
Firdaus,1997.cet.3,h.254
Tidak ada komentar:
Posting Komentar