NASIKH
DAN MANSUKH DALAM ILMU HADIST
A. Pengertian Ilmu
Nasikh wa Mansukh Hadits
Secara etimologi kata Nasikh adalah
bentuk isim fa’il, sedangkan Mansukh adalah
bentuk isim maf’ul dari kata kerja nasakha yang mempunyai beberapa makna,
yaitu : Izalah (menghapus), Ibthal (membatalkan), al tabdil (mengganti), al
tahwil (mengalihkan), an naql (memindah).[1] Sehingga seolah-olah orang yang
menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau
menukilkannya kepada hukum yang lain
Sedangkan menurut istilah, para
ulama mempunyai definisi yang berbeda-beda, Ulama mutaqaddim
memberi batasan naskh sebagai dalil syar'i yang ditetapkan kemudian, tidak
hanya untuk ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah
berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang
dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh
hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga
mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu
pengertian bebas(muthlaq). Juga dapat mencakup
pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu
pengertian umum ('am). Bahkan juga pengertian
pengecualian (istitsna). Demikian pula pengertian syarat dan sifatnya
Sedangkan dalam buku Pengantar Studi Ulumul Hadist Naskh,al-Qattan menyatakan Nask menurut bahasa mempunyai dua makna,
menghapus dan menukil. Sehingga seolah-olah yang menasakh itu telah
menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum
yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah “pengangkatan yang dilakukan oleh
penetap syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang
datang kemudian.”[2]
Ilmu Nasikh wa
Mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan
yang membahas tentang hadits yang datang terkemudian sebagai penghapus
terhadap ketentuan hukum yang berlawanan
dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu disebut ilmu Nasikh
wa’l-Mansukh.
Para muhadditsin
memberikan ta’rif ilmu itu secara lengkap ialah:
هو العلم الذي يبحث عن الاحاديث
المتعارضة التي لايمكن التوفيق بينها من حيث الحكم علي بعضها بانه ناسخ وعلي بعضها
الاخر بانه منسوخ فما ثبت تقدمه كان منسوخا وما كان تاخره كان ناسخا
”Ilmu yang membahas hadis-hadis yang
tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya,
karena ia sebagai nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebagian
yang lain, karena ia sebagai mansukh (yang dihapus). Karena itu hadis yang
mendahului adalah sebagai mansukh dan hadis
terakhir adalah sebagai nasikh.”[3]
Ilmu ini sangat
bermanfaat untuk pengamalan hadits bila ada dua hadits maqbul yang tanaqud yang
tidak dapat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai
pada tingkat Mukhtalif al-Hadits, kedua hadits maqbul tersebut dapat diamalkan.
Bila tidak bisa dijama’ (dikompromikan), hadits maqbul yang tanakud tersebut
di-tarjih atau di-nasakh.
Bila diketahui mana
diantara kedua hadits yang di-wurud-kan lebih dulu dan yang di-wurud-kan
kemudian, wurud kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan, sedangkan yang lebih
dulu tidak diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut
mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara
mengetahui nasakh,yakni penjelasan dari Rasulullah Saw. Sendiri, keterangan
Sahabat dan dari tarikh datangnya matan yang dimaksud.[4]
B. Sebab Adanya Ilmu Nasikh dan Mansukh
Salah satu cabang pengkajian Ilmu Hadits yang terpenting
utamanya adalah yang berkenaan dengan hadits hukum yaitu Ilmu Nasikh dan Mansukh.
Kepentingannnya tidak dapat dihilangkan karena ia merupakan salah satu syarat
ijtihad. Secara azas seorang mujtahid harus mengetahui latar belakang dalil
secara hukum khususnya hadits yang akan dijadikan azas hukum.
Atas dasar itulah al Hazimy berkata : ”Ilmu ini termasuk
sarana penyempurna ijtihad. Sebab sebagaimana diketahui bahwa rukun utama
didalam melakukan ijtihad. Itu ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum
dari dalil-dalil naqli (nash) dan menukil dari dalil-dalil naqli itu haruslah
mengenal pula dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang menasakhnya. Memahami
khitab Hadits menurut arti literal adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan
waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah mengistinbathkan hukum
dari dalil-dalil nash yang tidak jelas penunjukannya. Diantara jalan untuk
mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu ialah
mengetahui mana dalil yang terdahulu dan manapula yang terkemudian dan lain
sebaginya dari segi makna.”
Para sahabat memberi perhatian yang tinggi, hal ini diikuti
generasi sesudahnya, seperti dirwiyatkan dari Ali RA, dia pernah berdialog dengan
seorang hakim, kemudian Ali bertanya “ apakah engkau mengetahui nasikh dan
mansukh “, sang hakim menjawab “ aku tidak tahu “, kemudian Ali menegurnya
dengan berkata “ rusaklah engkau dan engkau telah menebar kerusakan “. Terlihat disini betapa Ali memerhatikan tentang urgensi
nasakh dan mansuk, beliau menegur seseorang yang mempunyai posisi strategis
dalam menentukan kebijakan hukum namun tidak memiliki sejarah tentang proses
produksi hukum dalam hal ini nasikh dan mansukh.
Seorang ilmuwan hadits yang mengetahui nasakh dan masukh
mempunyai keunggulan, nasakh dan mansukh adalah ilmu yang rumit dan sulit
sebagaimana ungkapan al Zuhri: “ yang paling memberatkan dan menguras tenaga
bagi ahli fikih adalah membedakan hadits yang telah dimansukh dari dengan
hadits yang manasihknya “.
Imam syafii seorang yang terkenal dengan gelar
penolong sunnah mempunyai peran yang besar dalam bidang ini, imam Ahmad bin Hambal berkata kepada ibni Warah ketika dia kembali
dari Mesir, “ apakah engkau telah menyalin kitab-kitab Imam Syafi’I”, Ibnu
Warah dengan apologis mengatakan dia tidak melakukan hal itu, kemudian Ahmad
bin Hambal berkata “ Engkau telah menyia-nyiakan kesempatan, kita tidak
mengetahui mujmal dan mufashol hadits, nasikh dan mansukh hadits kecuali
setelah mengikuti majlis Asy syafi’i.
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan
peranan yang besar bagi para ahli ilmu agar pengetahuan tentang suatu hukum
tidak kacau dan kabur. Karena itulah kita temukan perhatian mereka kepada hadis
sangat besar, Imam Syafi’I, imam Hambali dan para imam yang lain begitu
menganggap penting ilmu ini, karena dia termasuk ilmu yang dengannya pemahaman
hadis akan menjadi benar dan tidak sempit.
Karena urgensinya ilmu ini, maka sahabat, tabi’in dan ulama
sesudah mereka memberikan perhatian yang sangat serius terhadapnya, imam-imam
juga menjelaskan hal ini kepada murid-murid mereka, menganjurkan
mempelajarinya, menekuninya, menemukan hal-hal pelik berkenaan dengannya,
mensistematisasikannya dan menyusun karya dalam bidang ini.
C. Cara
mengetahui Nasikh wa Mansukh Hadits
Nasikh dan Mansukh
dalam hadits dapat diketahui dengan salah-satu dari beberapa hal berikut ini:
1.
Pernyataan dari Rasulullah, seperti sabda beliau,
حدثنا أبو
بكر بن أبي شيبة ومحمد بن عبد الله بن نمير ومحمد بن المثنى واللفظ لأبي بكر وبن
نمير قالوا حدثنا محمد بن فضيل عن أبي سنان وهو ضرار بن مرة عن محارب بن دثار عن
بن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها......
“
Dari Buraidah, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Aku
dahulu pernah melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka (sekarang)
berziarahlah kalian ”.
Dari hadis diatas diketahui bahwa dahulu hukum ziyarah kubur
adalah haram, kemudian memperbolehkan, bahkan dalam riwayat lain nabi menyebutkan
sisi positif ziyarah kubur yakni karena di dalam ziyarah kubur banyak pelajaran
yang bisa diambil, juga karena mengingatkan kematian.
أخبرنا
إسحاق إبراهيم قال أنبأنا إسماعيل وعبد الرزاق قالا حدثنا معمر عن الزهري عن عمر
بن عبد العزيز عن إبراهيم بن عبد الله بن قارظ عن أبي هريرةقال
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول توضئوا مما مست النار
Hadist diatas
mansukh berdasarkan hadist yang juga diriwayatkan oleh An-Nasa’I :
أَخْبَرَنَا
عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنَا
شُعَيْبٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ
اللَّهِ قَالَ : كَانَ آخِرَ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ تَرْكُ
الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّار
Kedua redaksi hadist menjelaskan tentang
makanan yang disentuh api (missal di panggang), namun isi dari kedua hadis tersebut bertentangan, yang
pertama menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orang yang makan daging
atau makanan lain yang disentuh api untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum
melaksanakan ritual salat, sedang hadis kedua menerangkan kebolehan salat
setelah memakan makanan yang disentuh api, disini diketahui bahwa hadis
yang kedua memposisikan diri sebagai Nasik, sedang hadis pertama mansukh.
Mengenai pernyataan sahabat ini, Ahli ushul mewajibkan adanya
penjelasan bahwa hadits kedua dalam kronologisnya datang setelah hadits pertama.[6]
3.
Mengetahui sejarah seperti hadis yang
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, yang berbunyi,
حدثنا محمد
بن رافع النيسابوري ومحمود بن غيلان ويحيى بن موسى قالوا اخبرنا عبد الرزاق عن
معمر عن يحيى بن ابي كثير عن ابراهيم بن عبد الله بن قارظ عن السائب بن يزيد عن
رافع بن خديج عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "افطر الحاجم والمحجوم"
Hadist diatas dimansukh oleh hadist yang juga
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi:
حدثنا بشر
بن هلال البصري حدثنا عبد الوارث بن سعيد حدثنا أيوب عن عكرمة عن بن عباس قال
احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم صائم
Dua hadis ini berbicara tentang bekam, hadits pertama
berisi batalnya puasa orang yang membekam dan orang yang berbekam, sedang hadis
kedua menerangkan bahwa bekam tidak membatalkan puasa.
Hadits tentang batalnya puasa baik subyek maupun obyek bekam
juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari jalur Shaddad. Imam syafi’i
menerangkan bahwa hadits yang diriwayatkan shaddad peristiwanya terjadi pada
hari al fath (fathu makkah) pada tahun 8 hijriyah, sedang hadits ibnu
Abbas terjadi pada haji Wada’ yang terjadi beberapa tahun
setelah fathu makkah yakni pada tahun 10 hijriyah, maka
hadits yang kedua menasakh hadits pertama.
4. Ijma’ ulama. Seperti hadits yang
berbunyi,
حدثنا
نصر بن عاصم الأنطاكي حدثنا يزيد بن هارون الواسطي حدثنا ابن أبي ذئب
عن الحارث بن عبد الرحمن عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سكر فاجلدوه ثم إن سكر فاجلدوه ثم إن سكر
فاجلدوه فإن عاد الرابعة فاقتلوه ,قال أبو داود وكذا حديث عمر بن أبي
سلمة عن أبيه عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم إذا
شرب الخمر فاجلدوه فإن عاد الرابعة فاقتلوه قال أبو داود وكذا حديث
سهيل عن أبي صالح عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم
إن شربوا الرابعة فاقتلوهم وكذا حديث ابن أبي نعم عن ابن عمر عن
النبي صلى الله عليه وسلم وكذا حديث عبد الله بن عمرو عن النبي صلى
الله عليه وسلم والشريد عن النبي صلى الله عليه وسلم وفي حديث
الجدلي عن معاوية أن النبي صلى الله عليه وسلم قال فإن عاد في
الثالثة أو الرابعة فاقتلوه
”Barangsiapa
yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang
keempat kalinya, maka bunuhlah dia”.
Umar ibnul Khattab menjatuhkan delapan puluh kali dera sebagai hukuman bagi peminum khomr , ini lahir
dari musyawarah para sahabat, diantara sahabat yang berbicara pada waktu itu
adalah Abdurrahman bin Auf. Beliau mengatakan bahwa hukuman had yang paling
ringan atau rendah adalah delapan puluh kali dera. Sayyidina Umar akhirnya
menyetujui pendapat tersebut dan ditetapkan sebagai keputusan bersama, yang
kemudian dikirimkan ke daaerah-daerah antara lain Syam yang waktu itu penguasanya
Khalid dan Abu Ubaidah.
Imam Nawawi berkata: ”Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh
terhadap hadits ini”. Jika empat hal ini tidak ditemukan ketika terdapat suatu
hadis yang kontradiksi maka menurut al Hazimi hal yang dilakukan adalah
mentarjih hadis tersebut.
Dalam buku yang berjudul Pengantar Studi Ilmu Hadist,karangan
al-Qattan,contohnya seperti ini:
من شرب الخمر فاجلدوه فان عاد في
الرابعة فاقتلوه
“Barang
siapa yang minum khamar maka cambuklah dia, dan jika kembali mengulangi yang
keempat kalinya, maka bunuhlah dia.” Imam An-Nawawi berkata, “Ijma’ ulama
menunjukan adanya naskh terhadap hadits
ini.” Dan ijma’ tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi
menunjukan adanya nasikh.[7]
D. Syarat – Syarat Nasakh
1.Adanya mansukh (yang dihapus) dengan
syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat
‘amali, tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu.
2.Adanya mansukh bih (yang digunakan
untuk menghapus) dengan syarat datangnya dari syari’ (Rasulullah saw).
3.Adanya nasikh (yang berhak menghapus),
dalam kaitan ini yaitu Rasulullah saw.
4.Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang
dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf). Karena
yang menjadi sasaran hukum yang menghapus atau yang dihapus itu adalah tertuju
pada mereka.
Sedangkan ‘Abd
‘Azhim al Zarqany mengemukakan bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :
1.Adanya dua hukum yang saling bertolak
belakang dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak diamalkan secara sekaligus
dalam segala segi.
2.Ketentuan hukum syara’ yang berlaku
(menghapus) datangnya belakangan dari pada ketetapan hukum syara’ yang diangkat
atau dihapus.
3.Harus diketahui secara meyakinkan
perurutan penukilan hadits-hadits tersebut sehingga yang lebih dahulu dinukilkan
ditetapkan sebagai mansukh dan yang dinukilkan kemudaannya sebagai nasikh.
E. Faedah/Pentingnya
Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadist
Mengetahui ilmu
nasikh wa mansukh adalah termaksud kewajiban yang penting bagi orang-orang yang
memperdalam ilmu-ilmu syariat. Karena seorang pembahas ilmu syariat tidak akan
memetik hukum dari dalil-dalil nash, dalam kaitan ini adalah hadits, tanpa
mengetahui dalil-dalail nash yang sudah dinasakh dan dalil-dalil yang
menasakhnya. Atas dasar itulah al-Hazimiy berkata: “Ilmu ini termaksud sarana
penyempurnaan ijtihad, sebab sebagaimana diketahui bahwa rukun utama didalam melakukan ijtihad itu ialah
adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari dalil-dalil naqli (nash) dan
menukuil dari dalil-dalil naqli itu haruslah mengenal pula dalil yang sudah
dinasakh atau dalil yang menasakhnya.
Memahami kitab
hadits menurut yang tersurat adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan waktu,
akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah menginstimbatkan hukum dari
dalil-dalil yang tidak jelas penunjuknya. Diantara jalan untuk mentahqiqkan
(mempositifkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu ialah mengetahui
mana dalil yang terdahulu dan mana pula dalil yang terkemudian dan lain
sebagainya dari segi makna.
F. Perhatian para ulama terhadap Ilmu Nasikh wa
Mansukh
Para ulama banyak
yang menaruh perhatian yang khusus dalam ilmu ini. Imam Syafi’i adalah
termaksud ulama yang mempunyai keahlian dalam ilmu Nasikh wa Mansukh. Hal itu
ketahui berdasarkan wawancara imam Ahmad dengan Ibnu Warih yang baru saja
datang dari Mesir. Kata Imam Ahmad: “Apakah telah kamu kutip tulisan-tulisan
ImamSyafi’i?” “Tidak” jawabnya. “Celakalah kamu”, bentak imam Ahmad, “kamu
tidak dapat mengetahui dengan sempurna tentang mujmal dan mufassal serta nasikh
dan mansukhnya suatu hadis sebelum kita semua ini tunduk berguru dengan Imam
Syafi’i.”
Sayyidina ‘Ali bin
Abi Thalib r.a. pernah bertemu dengan seorang qadli, lalu ditanyalah sang qadli
itu. “Apakah kamu mengenal nasikh dan mansukhnya suatu hadits?” “Tidak”, jawab
qadli itu. “Celakalah dirimu dan membuat pula celaka orang lain”, berikutnya.
Kata Az-Zuhry:
“Mengetahui nasikh dan mansukhnya suatu hadits adalah merupakan usaha yang memayahkan
dan menghabiskan energi para fuqoha.
G. Kitab-kitab Nasikh
dan Mansukh
Sebenarnya ilmu nasikh
dan mansukh sudah ada sejak pendewanan hadis pada awal abad pertama, akan
tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri sendiri. Kelahiranya sebagai
ilmu dipromotori oleh Qatadah bin Di’amah As-Sudusy (61-118 H.) dengan tulisan
beliau yang diberi judul “An-Nasikh wa’l-Mansukh”. Hanya perlu disayangkan
bahwa kitab tersebut tidak bisa kita menfaatkan, lantaran tiada sampai kepada
kita.
Pada tahun-tahun
yang berada diantara abad kedua dan ketiga, bangunlah ulama-ulama untuk menulis
kitab Nasikh wa’l-Mansukh. Diantara sekian banyak kitab nasikh yang masyhur
diabad ini ialah kitab Nasikhu’l-Hadits wa Mansukhuhu”, buah karya Al-Hapidh
Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (261 H), rekan Imam Ahmad. Kitab yang
terdiri dari tiga juz kecil-kecil itu juz ketiganya didapatkan di
Daru’l-Kutubi’l-Mishriyah. Kitab “Nasukhu’l-Hadits wa Mansukhuhu”, karya
muhaddits Iraq, Abu Hafsin bin Ahmad Al-Bagdady, yang lebih populer dengan nama
kurniyahnya Ibnu Syahin (297-385) adalah kitab nasikh dan mansukh abad keempat yang
sampai dan dapat kita manfaatkan. Kitab ini terdiri dari dua buah naskah
tulisan tangan (manuskrip). Yang sebuah berada di Perpustakaan Ahliyah
(nasional) di Paris dan yang sebuah lagi disaimpan di Perpustakaan Escorial
(Spanyol).
Kemudian setelah itu
keluarlah kitab “Al-I’tibar fi-Nasikh wa’l-Mansukh mian’l-Atsar”. Karya
Al-Hafidh Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimy (548-584 H.). beliau
memanfaatkan usaha ulama-ulama yang terdahulu dalam ilmu ini, sehingga kitab
yang disusunnya sudah mencangkup seluruh buah pikiran ulama-ulama itu. Sistematisnya
diatur menurut bab-bab fiqhiyah. Pada setiap bab fiqhiyah dikemukakan
hadits-hadits yang nampaknya berlawanan itu dengan tidak mengabaikan
pendapat-pendapat dari para ulama dan sekaligus nasikh dan mansukhnya. Tidak
sedikit pula kita dapatkan pendapat beliau sendiri dalam merajihkan suatu
pendapat atas pendapat lain. Pada tahun1319 H. Kitab itu dicetak di India,
kemudian pada tahun 1346 H. Dicetak di Kairo dan pada tahun yang sama dicetak
di Halab dengan tahqiq Syaikh Raghib Ath-Thabakhi al-Halaby.
H. Bentuk Nasakh Yang Berkaitan Dengan Hadits
H. Bentuk Nasakh Yang Berkaitan Dengan Hadits
1.
Nasakh Hadis Dengan Hadis
Ulama Usul al-Fiqh
sepakat mengatakan hadis boleh dinasakhkan dengan hadis, Yaitu mutawatir dengan
mutawatir, ahad dengan ahad, mutawatir dengan masyhur dan mutawatir dengan
ahad. Contohnya ialah hadis larangan menziarahi kubur dan menyimpan daging
korban. Larangan-larangan ini pada mulanya thabit dengan hadis dan hadis
sendiri yang membenarkannya. Akan tetapi, tiga bentuk nasakh pertama
diperbolehkan, sementara yang keempat terjadi silang pendapat di kalangan para
ulama.[8]
2. Nasakh Hadis Dengan al-Qur’an
Kebanyakan ulama
termasuk ulama Zahiriyyah mengakui adanya nasakh hadis dengan al-Qur’an. Walau
bagaimanapun, Imam al-Syafi’i tidak menerimanya. Jumhur berhujah bahwa nasakh
seperti ini memang berlaku dengan mengemukakan contoh perpindahan kiblat dari
Baitul Maqdis ke Ka`bah. Sembahyang dengan mengadap ke arah Baitul Maqdis
sememangnya thabit tetapi dengan hadis bukan al-Qur’an. Al-Hazimi mengemukakan
satu riwayat daripada al-Barra’ bin `Azib:
ان رسول الله صلي الله عليه وسلم كان
اول ماقد المدينة نزل علي احداده من الانصار وانه صلي قبل بيت المقدس ستة عشر شهرا
او سبعة عشر شهرا
Daripada al-Barra’ bin `Azib bahwa
perkara yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. apabila sampai di Madinah ialah
menemui datuk neneknya dari kalangan Ansar dan baginda bersembahyang mengadap
ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan.
Hadis ini telah
dinasakhkan oleh ayat berikut:
Sesungguhnya Kami sering melihat mukamu
mengadah ke langit, maka sesungguhnya Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang
kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. (Surah al-Baqarah: 144)
3.
Nasakh al-Qur’an Dengan Hadist
Jumhur ulama
termasuk Zahiriyyah mengharuskan nasakh hadis dengan al-Qur’an sementara Imam
al-Syafie menegahnya. Bagaimanapun golongan Hanafiyyah hanya mengharuskan
nasakh al-Qur’an dengan hadis mutawatir dan masyhur kerana ianya tersebar luas
di kalangan manusia. Golongan yang mengharuskannya berhujah dengan ayat wasiat
kepada ibu bapa dan kaum kerabat.
Diwajibkan ke atas
kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapa dan kaum kerabat secara
ma`ruf, ini adalah kewajipan atas orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah:180)
Ayat ini telah dimansukhkan dengan hadis:
عن ابي امامة قال : سمعت رسول الله
صلي الله عليه وسلم يقول:" ان الله قد اعطي كل ذي حق حقه فلا وصية
لوارث" ابو داود
Daripada Abu Umamah, katanya: “Saya
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya Allah s.w.t. telah
menentukan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan hak masing-masing.
Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk waris (orang yang berhak menerima
pusaka).”
Tetapi golongan yang
tidak mengharuskan bentuk nasakh ini menjawab bahwa ayat wasiat itu sebenarnya
dinasakhkan oleh ayat mawarith yaitu ayat 11 surah al-Maidah sebagaimana yang
ditegaskan oleh Ibn Abbas.
4.
Apakah Semua Hadis Yang Dimansukhkan Itu Dipersetujui Oleh Semua
Oleh kerana
penentuan nasakh merupakan perkara yang diijtihadkan, tentu sekali ada
perbedaan pendapat ulama dalam menentukan sesuatu hadis itu dimansukhkan
ataupun tidak. Tidak semua hadis yang dikatakan sebagai telah mansukh
dipersetujui oleh semua pihak. Walau bagaimanapun terdapat juga, hadis yang
disepakati oleh ulama sebagai mansukh. Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qardhawi
menyebut: “Banyak hadis yang didakwa sebagai telah dimansukhkan tetapi setelah
dikaji ia tidaklah dinasakhkan. Ada hadis yang berbentuk `azimah dan ada pula
yang berbentuk rukhsah. Kedua bentuk ini mempunyai hukum masing-masing pada
tempatnya. Terdapat sesetengah hadis yang berkaitan dengan keadaan tertentu dan
hadis yang lain pula berkaitan dengan keadaan yang lain, maka perbedaan keadaan
itu bukan menunjukkan nasakh.
I. Contoh Hadits Nasikh dan Mansukh
1.
Memakan makanan yang dimasak membatalkan whudu
Sebagian ulama berpendapat wajib
berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak apabila hendak melaksanakan
Sholat. Sebagian yang lain mengatakan hukum itu sudah tidak ada kerana ada
hadis yang menasakhkannya. Golongan yang pertama berhujah dengan hadis yang
dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Zaid bin Tshabit:
زيد بن ثابت قال سمعت رسول الله صلي
الله عليه وسلم يقول: "الوضوء مما مست النار" (مسلم كتاب الحيض باب
الوضوء مما مست النار)
Wajib berwuduk kerana memakan makanan
yang dimasak.
Hadis Abu Hurairah:
ان عبد الله بن ابراهم بن حافظ وجد ابا
هريرة يتوضا علي المسجد. فقال: قال: انما اتوضا من اثوار اقط اكلتها لاني سمعت
رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول: "توضؤو مما مست النار" (مسلم كتاب
الحيض باب الوضوء مما مست النار)
Sesungguhnya Abdullah bin Ibrahim bin
Qarit mendapati Abu Hurairah sedang berwuduk
dekat dengan masjid, lalu beliau berkata: “Sebenarnya aku berwuduk
kerana beberapa potong keju yang telah aku makan kerana aku mendengar
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Hendaklah kamu berwuduk setelah memakan makanan
yang dimasak”
Imam al-Tirmizi menyebutkan dalam
bab ini terdapat beberapa hadis yang diriwayatkan daripada Ummu Habibah, Ummu
Salamah, Zaid bin Thabit, Abu Talha, Abu Ayyub dan Abu Musa. Sebagian ulama
berpendapat whudu dimestikan apabila memakan makanan yang telah dimasak.[9]
Menurut al-Hazimi,
antara ulama yang berpandangan demikian ialah Ibn Umar, Talhah, Anas bin Malik,
Abu Musa, `Aishah, Zaid bin Thabit, Abu Hurairah, Abu `Izzah al-Hazali, Umar
bin Abdul Aziz, Abu Mijlaz, Abu Qilabah, Yahya bin Ya`mar, Hasan al-Basri dan
al-Zuhri. Tetapi kebanyakan ahli ilmu dan para fuqaha berpendapat tidak perlu
berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak. Mereka menganggap itu adalah
perkara yang terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.[10]
Hadis-hadis yang
menjadi hujah mereka ialah:
Dari Ibn Abbas: “Sesungguhnya Rasulullah
s.a.w. telah memakan kaki kambing yang hadapan, kemudian sholat tanpa mengambil
wuduk.”
Hadis `Amr bin Umayyah al-Dhamri:
Bahwa dia melihat Rasulullah s.a.w.
memotong kaki kambing yang hadapan yang dimakannya, kemudian sholat tanpa
mengambil wuduk.
Hadis Maimunah, isteri Rasulullah s.a.w.:
Dari Maimunah, isteri Rasulullah s.a.w.
katanya: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah memakan kaki kambing yang dihadapannya
dekat dengan beliau, kemudian sholat tanpa mengambil wuduk.”
Dari Jabir katanya: Perkara terakhir
daripada Rasulullah s.a.w. ialah tidak berwuduk kerana memakan makanan yang
dimasak dengan api.
KESIMPULAN
Ilmu nasikh dan
mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang hadits yang datang
terkemudian sebagai penghapus terhadap ketentuan hukum yang berlawanan dengan
kandungan hadits yang datang lebih dahulu.
Ilmu nasikh dan
mansukh sudah ada sejak periode hadits pada awal abad pertama, akan tetapi
belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri sendiri.
Syarat-syarat nasakh yaitu:
·Adanya mansukh (yang dihapus)
·Adanya mansukh bih (yang digunakan untuk
menghapus)
·Adanya nasikh (yang berhak menghapus)
·Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang
dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf)
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Manna’
al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits cet. 1(Jakarta: Pustaka
al-Kausar, 2005)
Fachtur Rahman, Ikhtisar
Musthalahul Hadits, (Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1974)
Agus Solahuddin
dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2009)
Rusydie Anwar, pengantar
ulumul al-Quran dan hadis (yogyakarta: Diva pres, 2015)
Jami’ al-Tirmizi,.
Jilid 1
Al-Hazimi, ,Al-I`tibar
fi al-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Akhbar
Ahmad bin Shu’aib bin Ali, Abu Abdirrahman , Sunan
Nasa’i, (Riyadh: Maktabah al Maarif, t,th),
Hasyim, Ahmad Umar, Qowaidu
ushul al hadits, (Beirut : Dar al kutub al arabi, 1984)
Rasikh (al), Abdul Mannan, kamus istilah-istilah
hadith terj. Asmuni, (Jakarta: Darul Falah, 2006)
Ibn al Mandzur, Lisan al Arab,
(Kairo: Dar al Hadits, jilid VIII, 2003)
[1]
Ibn al Mandzur, Lisan al Arab,
(Kairo: Dar al Hadits, jilid VIII, 2003), 533. Lihat juga Abdul Mannan al Rasikh, kamus
istilah-istilah hadith terj. Asmuni, (Jakarta: Darul Falah, 2006), 218.
[2]
Manna’ al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits cet. 1(Jakarta: Pustaka
al-Kausar, 2005) hlm. 127
[5]
Abu Abdirrahman Ahmad bin Shu’aib bin
Ali, Sunan Nasa’i, (Riyadh: Maktabah al Maarif, t,th),h. 36
[9]
Jami’ al-Tirmizi,. Jilid 1. Hlm 32
[10]
Al-Hazimi, ,Al-I`tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Akhbar, hal. 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar