Kamis, 19 April 2018

Ilmu Hadits : Nasikh dan Mansukh


NASIKH DAN MANSUKH DALAM ILMU HADIST


A. Pengertian Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadits
Secara etimologi kata Nasikh adalah bentuk isim fa’il, sedangkan Mansukh adalah bentuk isim maf’ul dari kata kerja nasakha yang mempunyai beberapa makna, yaitu : Izalah (menghapus), Ibthal (membatalkan), al tabdil (mengganti), al tahwil (mengalihkan), an naql (memindah).[1] Sehingga seolah-olah orang yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain
Sedangkan menurut istilah, para ulama mempunyai definisi yang berbeda-beda,  Ulama  mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'i yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk  ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama  yang  dinyatakan berakhirnya  masa  pemberlakuannya,  sejauh  hukum  tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi  juga  mencakup pengertian  pembatasan  (qaid)  bagi  suatu pengertian bebas(muthlaq).  Juga  dapat  mencakup  pengertian   pengkhususan (makhasshish)  terhadap  suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga  pengertian  pengecualian  (istitsna).  Demikian   pula pengertian syarat dan sifatnya
Sedangkan dalam buku Pengantar Studi Ulumul Hadist Naskh,al-Qattan menyatakan Nask menurut bahasa mempunyai dua makna, menghapus dan menukil. Sehingga seolah-olah yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah “pengangkatan yang dilakukan oleh penetap syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian.”[2]
Ilmu Nasikh wa Mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan  yang membahas tentang hadits yang datang terkemudian sebagai penghapus terhadap ketentuan  hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu disebut ilmu Nasikh wa’l-Mansukh.
Para muhadditsin memberikan ta’rif ilmu itu secara lengkap ialah:
هو العلم الذي يبحث عن الاحاديث المتعارضة التي لايمكن التوفيق بينها من حيث الحكم علي بعضها بانه ناسخ وعلي بعضها الاخر بانه منسوخ فما ثبت تقدمه كان منسوخا وما كان تاخره كان ناسخا
”Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia sebagai nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebagian yang lain, karena ia sebagai mansukh (yang dihapus). Karena itu hadis yang mendahului adalah sebagai mansukh  dan hadis terakhir adalah  sebagai nasikh.”[3]
Ilmu ini sangat bermanfaat untuk pengamalan hadits bila ada dua hadits maqbul yang tanaqud yang tidak dapat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai pada tingkat Mukhtalif al-Hadits, kedua hadits maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama’ (dikompromikan), hadits maqbul yang tanakud tersebut di-tarjih atau di-nasakh.
Bila diketahui mana diantara kedua hadits yang di-wurud-kan lebih dulu dan yang di-wurud-kan kemudian, wurud kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan, sedangkan yang lebih dulu tidak diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetahui nasakh,yakni penjelasan dari Rasulullah Saw. Sendiri, keterangan Sahabat dan dari tarikh datangnya matan yang dimaksud.[4]

B. Sebab Adanya Ilmu Nasikh dan Mansukh
Salah satu cabang pengkajian Ilmu Hadits yang terpenting utamanya adalah yang berkenaan dengan hadits hukum yaitu Ilmu Nasikh dan Mansukh. Kepentingannnya tidak dapat dihilangkan karena ia merupakan salah satu syarat ijtihad. Secara azas seorang mujtahid harus mengetahui latar belakang dalil secara hukum khususnya hadits yang akan dijadikan azas hukum.
Atas dasar itulah al Hazimy berkata : ”Ilmu ini termasuk sarana penyempurna ijtihad. Sebab sebagaimana diketahui bahwa rukun utama didalam melakukan ijtihad. Itu ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari dalil-dalil naqli (nash) dan menukil dari dalil-dalil naqli itu haruslah mengenal pula dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang menasakhnya. Memahami khitab Hadits menurut arti literal adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil nash yang tidak jelas penunjukannya. Diantara jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu ialah mengetahui mana dalil yang terdahulu dan manapula yang terkemudian dan lain sebaginya dari segi makna.”
Para sahabat memberi perhatian yang tinggi, hal ini diikuti generasi sesudahnya, seperti dirwiyatkan dari Ali RAdia pernah berdialog dengan seorang hakim, kemudian Ali bertanya “ apakah engkau mengetahui nasikh dan mansukh “, sang hakim menjawab “ aku tidak tahu “, kemudian Ali menegurnya dengan berkata “ rusaklah engkau dan engkau telah menebar kerusakan . Terlihat disini betapa Ali memerhatikan tentang urgensi nasakh dan mansuk, beliau menegur seseorang yang mempunyai posisi strategis dalam menentukan kebijakan hukum namun tidak memiliki sejarah tentang proses produksi hukum dalam hal ini nasikh dan mansukh.
Seorang ilmuwan hadits yang mengetahui nasakh dan masukh mempunyai keunggulan, nasakh dan mansukh adalah ilmu yang rumit dan sulit sebagaimana ungkapan al Zuhri: “ yang paling memberatkan dan menguras tenaga bagi ahli fikih adalah membedakan hadits yang telah dimansukh dari dengan hadits yang manasihknya “.
 Imam syafii seorang yang terkenal dengan gelar penolong sunnah mempunyai peran yang besar dalam bidang ini, imam Ahmad bin Hambal berkata kepada ibni Warah ketika dia kembali dari Mesir, “ apakah engkau telah menyalin kitab-kitab Imam Syafi’I”, Ibnu Warah dengan apologis mengatakan dia tidak melakukan hal itu, kemudian Ahmad bin Hambal berkata “ Engkau telah menyia-nyiakan kesempatan, kita tidak mengetahui mujmal dan mufashol hadits, nasikh dan mansukh hadits kecuali setelah mengikuti majlis Asy syafi’i.
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan peranan yang besar bagi para ahli ilmu agar pengetahuan tentang suatu hukum tidak kacau dan kabur. Karena itulah kita temukan perhatian mereka kepada hadis sangat besar, Imam Syafi’I, imam Hambali dan para imam yang lain begitu menganggap penting ilmu ini, karena dia termasuk ilmu yang dengannya pemahaman hadis akan menjadi benar dan tidak sempit.
Karena urgensinya ilmu ini, maka sahabat, tabi’in dan ulama sesudah mereka memberikan perhatian yang sangat serius terhadapnya, imam-imam juga menjelaskan hal ini kepada murid-murid mereka, menganjurkan mempelajarinya, menekuninya, menemukan hal-hal pelik berkenaan dengannya, mensistematisasikannya dan menyusun karya dalam bidang ini.

C. Cara mengetahui  Nasikh wa Mansukh Hadits
Nasikh dan Mansukh dalam hadits dapat diketahui dengan salah-satu dari beberapa hal berikut ini:
1.  Pernyataan dari Rasulullah, seperti sabda beliau,
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة ومحمد بن عبد الله بن نمير ومحمد بن المثنى واللفظ لأبي بكر وبن نمير قالوا حدثنا محمد بن فضيل عن أبي سنان وهو ضرار بن مرة عن محارب بن دثار عن بن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها......

“ Dari Buraidah, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Aku dahulu pernah melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka (sekarang) berziarahlah kalian ”.
Dari hadis diatas diketahui bahwa dahulu hukum ziyarah kubur adalah haram, kemudian memperbolehkan, bahkan dalam riwayat lain nabi menyebutkan sisi positif ziyarah kubur yakni karena di dalam ziyarah kubur banyak pelajaran yang bisa diambil, juga karena mengingatkan kematian.

2.  Perkataan Sahabat. contoh:[5]
أخبرنا إسحاق إبراهيم قال أنبأنا إسماعيل وعبد الرزاق قالا حدثنا معمر عن الزهري عن عمر بن عبد العزيز عن إبراهيم بن عبد الله بن قارظ عن أبي هريرةقال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول توضئوا مما مست النار
Hadist diatas mansukh berdasarkan hadist yang juga diriwayatkan oleh An-Nasa’I :
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعَيْبٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : كَانَ آخِرَ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّار
Kedua redaksi hadist menjelaskan tentang makanan yang disentuh api (missal di panggang), namun isi dari kedua hadis tersebut bertentangan, yang pertama menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orang yang makan daging atau makanan lain yang disentuh api untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum melaksanakan ritual salat, sedang hadis kedua menerangkan kebolehan salat setelah memakan makanan yang disentuh  api, disini diketahui bahwa hadis yang kedua memposisikan diri sebagai Nasik, sedang hadis pertama mansukh.
Mengenai pernyataan sahabat ini, Ahli ushul mewajibkan adanya penjelasan bahwa hadits kedua dalam kronologisnya datang setelah hadits pertama.[6]
3.  Mengetahui sejarah seperti hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, yang berbunyi,
حدثنا محمد بن رافع النيسابوري ومحمود بن غيلان ويحيى بن موسى قالوا اخبرنا عبد الرزاق عن معمر عن يحيى بن ابي كثير عن ابراهيم بن عبد الله بن قارظ عن السائب بن يزيد عن رافع بن خديج عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "افطر الحاجم والمحجوم"
Hadist diatas dimansukh oleh hadist yang juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi:
حدثنا بشر بن هلال البصري حدثنا عبد الوارث بن سعيد حدثنا أيوب عن عكرمة عن بن عباس قال احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم صائم

Dua hadis ini berbicara tentang bekam, hadits  pertama berisi batalnya puasa orang yang membekam dan orang yang berbekam, sedang hadis kedua menerangkan bahwa bekam tidak membatalkan puasa.
Hadits tentang batalnya puasa baik subyek maupun obyek bekam juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari jalur  Shaddad. Imam syafi’i menerangkan bahwa hadits yang diriwayatkan shaddad peristiwanya terjadi pada hari al fath (fathu makkah)  pada tahun 8 hijriyah, sedang hadits ibnu Abbas terjadi pada haji Wada’ yang terjadi beberapa tahun setelah fathu makkah yakni pada tahun 10 hijriyahmaka hadits yang kedua menasakh hadits pertama.

4. Ijma’ ulama. Seperti hadits yang berbunyi,
حدثنا ‏ ‏نصر بن عاصم الأنطاكي ‏ ‏حدثنا ‏ ‏يزيد بن هارون الواسطي ‏ ‏حدثنا ‏ ‏ابن أبي ذئب ‏ ‏عن ‏ ‏الحارث بن عبد الرحمن ‏ ‏عن ‏ ‏أبي سلمة ‏ ‏عن ‏ ‏أبي هريرة ‏ ‏قال ‏ قال رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏إذا سكر فاجلدوه ثم إن سكر فاجلدوه ثم إن سكر فاجلدوه فإن عاد الرابعة فاقتلوه ‏ ,قال ‏ ‏أبو داود ‏ ‏وكذا حديث ‏ ‏عمر بن أبي سلمة ‏ ‏عن ‏ ‏أبيه ‏ ‏عن ‏ ‏أبي هريرة ‏ ‏عن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏إذا شرب الخمر فاجلدوه فإن عاد الرابعة فاقتلوه ‏ ‏قال ‏ ‏أبو داود ‏ ‏وكذا حديث ‏ ‏سهيل ‏ ‏عن ‏ ‏أبي صالح ‏ ‏عن ‏ ‏أبي هريرة ‏ ‏عن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏إن شربوا الرابعة فاقتلوهم ‏ ‏وكذا حديث ‏ ‏ابن أبي نعم ‏ ‏عن ‏ ‏ابن عمر ‏ ‏عن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏وكذا حديث ‏ ‏عبد الله بن عمرو ‏ ‏عن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏والشريد ‏ ‏عن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏وفي حديث ‏ ‏الجدلي ‏ ‏عن ‏ ‏معاوية ‏ ‏أن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏قال ‏ ‏فإن عاد في الثالثة أو الرابعة فاقتلوه ‏

”Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia”.
Umar ibnul Khattab menjatuhkan delapan puluh kali dera sebagai hukuman bagi peminum khomr , ini lahir dari musyawarah para sahabat, diantara sahabat yang berbicara pada waktu itu adalah Abdurrahman bin Auf. Beliau mengatakan bahwa hukuman had yang paling ringan atau rendah adalah delapan puluh kali dera. Sayyidina Umar akhirnya menyetujui pendapat tersebut dan ditetapkan sebagai keputusan bersama, yang kemudian dikirimkan ke daaerah-daerah antara lain Syam yang waktu itu penguasanya Khalid dan Abu Ubaidah.
Imam Nawawi berkata: ”Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh terhadap hadits ini”. Jika empat hal ini tidak ditemukan ketika terdapat suatu hadis yang kontradiksi maka menurut al Hazimi hal yang dilakukan adalah mentarjih hadis tersebut.
Dalam buku yang berjudul Pengantar Studi Ilmu Hadist,karangan al-Qattan,contohnya seperti ini:
من شرب الخمر فاجلدوه فان عاد في الرابعة فاقتلوه
 “Barang siapa yang minum khamar maka cambuklah dia, dan jika kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.” Imam An-Nawawi berkata, “Ijma’ ulama menunjukan adanya  naskh terhadap hadits ini.” Dan ijma’ tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi menunjukan adanya nasikh.[7]

D.  Syarat – Syarat Nasakh
1.Adanya mansukh (yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah         berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu.
2.Adanya mansukh bih (yang digunakan untuk menghapus) dengan syarat datangnya dari syari’ (Rasulullah saw).
3.Adanya nasikh (yang berhak menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah saw.
4.Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf). Karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus atau yang dihapus itu adalah tertuju pada mereka.
Sedangkan ‘Abd ‘Azhim al Zarqany mengemukakan bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :
1.Adanya dua hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
2.Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan dari pada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.
3.Harus diketahui secara meyakinkan perurutan penukilan hadits-hadits tersebut sehingga yang lebih dahulu dinukilkan ditetapkan sebagai mansukh dan yang dinukilkan kemudaannya sebagai nasikh.

E. Faedah/Pentingnya Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadist
Mengetahui ilmu nasikh wa mansukh adalah termaksud kewajiban yang penting bagi orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu syariat. Karena seorang pembahas ilmu syariat tidak akan memetik hukum dari dalil-dalil nash, dalam kaitan ini adalah hadits, tanpa mengetahui dalil-dalail nash yang sudah dinasakh dan dalil-dalil yang menasakhnya. Atas dasar itulah al-Hazimiy berkata: “Ilmu ini termaksud sarana penyempurnaan ijtihad, sebab sebagaimana diketahui bahwa rukun  utama didalam melakukan ijtihad itu ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari dalil-dalil naqli (nash) dan menukuil dari dalil-dalil naqli itu haruslah mengenal pula dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang menasakhnya.
Memahami kitab hadits menurut yang tersurat adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan waktu, akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah menginstimbatkan hukum dari dalil-dalil yang tidak jelas penunjuknya. Diantara jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu ialah mengetahui mana dalil yang terdahulu dan mana pula dalil yang terkemudian dan lain sebagainya dari segi makna.

F.  Perhatian para ulama terhadap Ilmu Nasikh wa Mansukh
Para ulama banyak yang menaruh perhatian yang khusus dalam ilmu ini. Imam Syafi’i adalah termaksud ulama yang mempunyai keahlian dalam ilmu Nasikh wa Mansukh. Hal itu ketahui berdasarkan wawancara imam Ahmad dengan Ibnu Warih yang baru saja datang dari Mesir. Kata Imam Ahmad: “Apakah telah kamu kutip tulisan-tulisan ImamSyafi’i?” “Tidak” jawabnya. “Celakalah kamu”, bentak imam Ahmad, “kamu tidak dapat mengetahui dengan sempurna tentang mujmal dan mufassal serta nasikh dan mansukhnya suatu hadis sebelum kita semua ini tunduk berguru dengan Imam Syafi’i.”
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bertemu dengan seorang qadli, lalu ditanyalah sang qadli itu. “Apakah kamu mengenal nasikh dan mansukhnya suatu hadits?” “Tidak”, jawab qadli itu. “Celakalah dirimu dan membuat pula celaka orang lain”, berikutnya.
Kata Az-Zuhry: “Mengetahui nasikh dan mansukhnya suatu hadits adalah merupakan usaha yang memayahkan dan menghabiskan energi para fuqoha.

G. Kitab-kitab Nasikh dan Mansukh
Sebenarnya ilmu nasikh dan mansukh sudah ada sejak pendewanan hadis pada awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri sendiri. Kelahiranya sebagai ilmu dipromotori oleh Qatadah bin Di’amah As-Sudusy (61-118 H.) dengan tulisan beliau yang diberi judul “An-Nasikh wa’l-Mansukh”. Hanya perlu disayangkan bahwa kitab tersebut tidak bisa kita menfaatkan, lantaran tiada sampai kepada kita.
Pada tahun-tahun yang berada diantara abad kedua dan ketiga, bangunlah ulama-ulama untuk menulis kitab Nasikh wa’l-Mansukh. Diantara sekian banyak kitab nasikh yang masyhur diabad ini ialah kitab Nasikhu’l-Hadits wa Mansukhuhu”, buah karya Al-Hapidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (261 H), rekan Imam Ahmad. Kitab yang terdiri dari tiga juz kecil-kecil itu juz ketiganya didapatkan di Daru’l-Kutubi’l-Mishriyah. Kitab “Nasukhu’l-Hadits wa Mansukhuhu”, karya muhaddits Iraq, Abu Hafsin bin Ahmad Al-Bagdady, yang lebih populer dengan nama kurniyahnya Ibnu Syahin (297-385) adalah kitab nasikh dan mansukh abad keempat yang sampai dan dapat kita manfaatkan. Kitab ini terdiri dari dua buah naskah tulisan tangan (manuskrip). Yang sebuah berada di Perpustakaan Ahliyah (nasional) di Paris dan yang sebuah lagi disaimpan di Perpustakaan Escorial (Spanyol).
Kemudian setelah itu keluarlah kitab “Al-I’tibar fi-Nasikh wa’l-Mansukh mian’l-Atsar”. Karya Al-Hafidh Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimy (548-584 H.). beliau memanfaatkan usaha ulama-ulama yang terdahulu dalam ilmu ini, sehingga kitab yang disusunnya sudah mencangkup seluruh buah pikiran ulama-ulama itu. Sistematisnya diatur menurut bab-bab fiqhiyah. Pada setiap bab fiqhiyah dikemukakan hadits-hadits yang nampaknya berlawanan itu dengan tidak mengabaikan pendapat-pendapat dari para ulama dan sekaligus nasikh dan mansukhnya. Tidak sedikit pula kita dapatkan pendapat beliau sendiri dalam merajihkan suatu pendapat atas pendapat lain. Pada tahun1319 H. Kitab itu dicetak di India, kemudian pada tahun 1346 H. Dicetak di Kairo dan pada tahun yang sama dicetak di Halab dengan tahqiq Syaikh Raghib Ath-Thabakhi al-Halaby.

HBentuk Nasakh Yang Berkaitan Dengan Hadits

1.  Nasakh Hadis Dengan Hadis
Ulama Usul al-Fiqh sepakat mengatakan hadis boleh dinasakhkan dengan hadis, Yaitu mutawatir dengan mutawatir, ahad dengan ahad, mutawatir dengan masyhur dan mutawatir dengan ahad. Contohnya ialah hadis larangan menziarahi kubur dan menyimpan daging korban. Larangan-larangan ini pada mulanya thabit dengan hadis dan hadis sendiri yang membenarkannya. Akan tetapi, tiga bentuk nasakh pertama diperbolehkan, sementara yang keempat terjadi silang pendapat di kalangan para ulama.[8]
2.  Nasakh Hadis Dengan al-Qur’an
Kebanyakan ulama termasuk ulama Zahiriyyah mengakui adanya nasakh hadis dengan al-Qur’an. Walau bagaimanapun, Imam al-Syafi’i tidak menerimanya. Jumhur berhujah bahwa nasakh seperti ini memang berlaku dengan mengemukakan contoh perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka`bah. Sembahyang dengan mengadap ke arah Baitul Maqdis sememangnya thabit tetapi dengan hadis bukan al-Qur’an. Al-Hazimi mengemukakan satu riwayat daripada al-Barra’ bin `Azib:
ان رسول الله صلي الله عليه وسلم كان اول ماقد المدينة نزل علي احداده من الانصار وانه صلي قبل بيت المقدس ستة عشر شهرا او سبعة عشر شهرا
Daripada al-Barra’ bin `Azib bahwa perkara yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. apabila sampai di Madinah ialah menemui datuk neneknya dari kalangan Ansar dan baginda bersembahyang mengadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan.
Hadis ini telah dinasakhkan oleh ayat berikut:
Sesungguhnya Kami sering melihat mukamu mengadah ke langit, maka sesungguhnya Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. (Surah al-Baqarah: 144)
3.  Nasakh al-Qur’an Dengan Hadist
Jumhur ulama termasuk Zahiriyyah mengharuskan nasakh hadis dengan al-Qur’an sementara Imam al-Syafie menegahnya. Bagaimanapun golongan Hanafiyyah hanya mengharuskan nasakh al-Qur’an dengan hadis mutawatir dan masyhur kerana ianya tersebar luas di kalangan manusia. Golongan yang mengharuskannya berhujah dengan ayat wasiat kepada ibu bapa dan kaum kerabat.
Diwajibkan ke atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapa dan kaum kerabat secara ma`ruf, ini adalah kewajipan atas orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah:180)
Ayat ini telah dimansukhkan dengan hadis:
عن ابي امامة قال : سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول:" ان الله قد اعطي كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث" ابو داود
Daripada Abu Umamah, katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya Allah s.w.t. telah menentukan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan hak masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk waris (orang yang berhak menerima pusaka).”
Tetapi golongan yang tidak mengharuskan bentuk nasakh ini menjawab bahwa ayat wasiat itu sebenarnya dinasakhkan oleh ayat mawarith yaitu ayat 11 surah al-Maidah sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Abbas.
4.  Apakah Semua Hadis Yang Dimansukhkan Itu Dipersetujui Oleh Semua
Oleh kerana penentuan nasakh merupakan perkara yang diijtihadkan, tentu sekali ada perbedaan pendapat ulama dalam menentukan sesuatu hadis itu dimansukhkan ataupun tidak. Tidak semua hadis yang dikatakan sebagai telah mansukh dipersetujui oleh semua pihak. Walau bagaimanapun terdapat juga, hadis yang disepakati oleh ulama sebagai mansukh. Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qardhawi menyebut: “Banyak hadis yang didakwa sebagai telah dimansukhkan tetapi setelah dikaji ia tidaklah dinasakhkan. Ada hadis yang berbentuk `azimah dan ada pula yang berbentuk rukhsah. Kedua bentuk ini mempunyai hukum masing-masing pada tempatnya. Terdapat sesetengah hadis yang berkaitan dengan keadaan tertentu dan hadis yang lain pula berkaitan dengan keadaan yang lain, maka perbedaan keadaan itu bukan menunjukkan nasakh.

I. Contoh Hadits Nasikh dan Mansukh

1.  Memakan makanan yang dimasak membatalkan whudu
            Sebagian ulama berpendapat wajib berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak apabila hendak melaksanakan Sholat. Sebagian yang lain mengatakan hukum itu sudah tidak ada kerana ada hadis yang menasakhkannya. Golongan yang pertama berhujah dengan hadis yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Zaid bin Tshabit:
زيد بن ثابت قال سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول: "الوضوء مما مست النار" (مسلم كتاب الحيض باب الوضوء مما مست النار)
Wajib berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak.
Hadis Abu Hurairah:
ان عبد الله بن ابراهم بن حافظ وجد ابا هريرة يتوضا علي المسجد. فقال: قال: انما اتوضا من اثوار اقط اكلتها لاني سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول: "توضؤو مما مست النار" (مسلم كتاب الحيض باب الوضوء مما مست النار)
Sesungguhnya Abdullah bin Ibrahim bin Qarit mendapati Abu Hurairah sedang berwuduk  dekat dengan masjid, lalu beliau berkata: “Sebenarnya aku berwuduk kerana beberapa potong keju yang telah aku makan kerana aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Hendaklah kamu berwuduk setelah memakan makanan yang dimasak”
            Imam al-Tirmizi menyebutkan dalam bab ini terdapat beberapa hadis yang diriwayatkan daripada Ummu Habibah, Ummu Salamah, Zaid bin Thabit, Abu Talha, Abu Ayyub dan Abu Musa. Sebagian ulama berpendapat whudu dimestikan apabila memakan makanan yang telah dimasak.[9]
Menurut al-Hazimi, antara ulama yang berpandangan demikian ialah Ibn Umar, Talhah, Anas bin Malik, Abu Musa, `Aishah, Zaid bin Thabit, Abu Hurairah, Abu `Izzah al-Hazali, Umar bin Abdul Aziz, Abu Mijlaz, Abu Qilabah, Yahya bin Ya`mar, Hasan al-Basri dan al-Zuhri. Tetapi kebanyakan ahli ilmu dan para fuqaha berpendapat tidak perlu berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak. Mereka menganggap itu adalah perkara yang terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.[10]
Hadis-hadis yang menjadi hujah mereka ialah:
Dari Ibn Abbas: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah memakan kaki kambing yang hadapan, kemudian sholat tanpa mengambil wuduk.”
Hadis `Amr bin Umayyah al-Dhamri:
Bahwa dia melihat Rasulullah s.a.w. memotong kaki kambing yang hadapan yang dimakannya, kemudian sholat tanpa mengambil wuduk.
Hadis Maimunah, isteri Rasulullah s.a.w.:
Dari Maimunah, isteri Rasulullah s.a.w. katanya: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah memakan kaki kambing yang dihadapannya dekat dengan beliau, kemudian sholat tanpa mengambil wuduk.”
Dari Jabir katanya: Perkara terakhir daripada Rasulullah s.a.w. ialah tidak berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak dengan api.
KESIMPULAN
Ilmu nasikh dan mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang hadits yang datang terkemudian sebagai penghapus terhadap ketentuan hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu.
Ilmu nasikh dan mansukh sudah ada sejak periode hadits pada awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri sendiri.
Syarat-syarat nasakh yaitu:
·Adanya mansukh (yang dihapus)
·Adanya mansukh bih (yang digunakan untuk menghapus)
·Adanya nasikh (yang berhak menghapus)
·Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf)
  

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Manna’ al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits cet. 1(Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005)
Fachtur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1974)
Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2009)
Rusydie Anwar, pengantar ulumul al-Quran dan hadis (yogyakarta: Diva pres, 2015)
Jami’ al-Tirmizi,. Jilid 1
Al-Hazimi, ,Al-I`tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Akhbar
Ahmad bin Shu’aib bin Ali, Abu Abdirrahman , Sunan Nasa’i, (Riyadh: Maktabah al Maarif, t,th),
Hasyim, Ahmad Umar, Qowaidu ushul al hadits, (Beirut : Dar al kutub al arabi, 1984)


Rasikh (al), Abdul Mannan, kamus istilah-istilah hadith terj. Asmuni, (Jakarta: Darul Falah, 2006)
Ibn al Mandzur, Lisan al Arab, (Kairo: Dar al Hadits, jilid VIII, 2003)





[1] Ibn al Mandzur, Lisan al Arab, (Kairo: Dar al Hadits, jilid VIII, 2003), 533. Lihat juga Abdul Mannan al Rasikh, kamus istilah-istilah hadith terj. Asmuni, (Jakarta: Darul Falah, 2006), 218.
[2] Manna’ al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits cet. 1(Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005) hlm. 127
[3] Fachtur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadist,(Bamdung: PT. al-Ma’rif,1974)h.331
[4] Fachtur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadist,(Bandung: PT. al-Ma’rif,1974)h.331
[5] Abu Abdirrahman Ahmad bin Shu’aib bin Ali, Sunan Nasa’i, (Riyadh: Maktabah al Maarif, t,th),h. 36
[6]Ahmad Umar Hasyim, Qowaidu ushul al hadits, (Beirut : Dar al kutub al arabi, 1984), h.251

[7] Manna’ al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2016), h. 128
[8] Rusydie Anwar, Pengantar Ulumul al-Quran dan Hadis, (yogyakarta: Diva pres, 2015) hlm. 89
[9] Jami’ al-Tirmizi,. Jilid 1. Hlm 32
[10] Al-Hazimi, ,Al-I`tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Akhbar, hal. 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Metode Tafsir : Tafsir Sahabat

PEMBAHASAN TAFSIR SAHABAT A. Pengertian Sahabat Sebagai Mufassir Tafsir Al-Qur’an telah tumbuh dimasa Nabi Saw. dan beliaulah pena...